Senin, 21 November 2011

PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PERSPEKTIF KESEHATAN, HUKUM DAN HAM

A. Latar Belakang

Perkawinan di bawah umur dinilai menjadi masalah serius karena memunculkan kontroversi di masyarakat, tidak hanya di Indonesia namun juga menjadi isu internasional. Pada faktanya perkawinan semacam ini sering terjadi karena sejumlah alasan dan pandangan, di antaranya karena telah telah menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat yang dinilai kurang baik.

Pembicaraan tentang perkawinan di bawah umur disegarkan ingatannya oleh pernikahan kontroversial antara seorang syeh dengan seorang anak berusia 13 tahun di Jawa Tengah pada tahun 2009. Pernikahan ini menjadi kontroversi karena yang dinikahi adalah anak-anak, seusia anak SMP. Karena yang dinikahi anak-anak itu, pernikahan ini menjadi sorotan media dan menjadi konsumsi pemberitaan. Yang jelas, pernikahan semacam ini banyak terjadi dari waktu ke waktu. Perkawinan di bawah umur menjadi permasalahan karena fakta di masyarakat yang masih terus berkembang.

Berdasarkan studi literasi yang berhasil dicatat menyebutkan bahwa pernikahan di bawah umur terjadi di antaranya karena kebiasaan yang terjadi secara turun temurun. Pada sebuah penelitian yang dilakukan di Kec. Jangkar Kec. Situbodo Jawa Timur, menyebutkan, masyarakat yang menikah pada 1960-2000 belum memiliki akta nikah karena dilakukan terhadap anak di bawah umur . Sedangkan pada 2001-2007 sebagian masyarakat sudah memiliki akta nikah, namun pengantin perempuan rata-rata masih lulusan SD atau juga masih di bawah umur. Pada periode 2007-2008 perkawinan bawah umur kembali meningkat tajam, karena faktor ekonomi, pendidikan, dan tradisi turun temurun.
Di kota Malang, Jawa Timur, berdasarkan Pengadilan Agama Kota Malang, tercatat angka perkawinan di bawah umur pada 2008 meningkat sampai 500 % dibandingkan tahun sebelumnya.
Fakta lain menyebutkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2008 terdapat 32,2 % perempuan yang menikah pada usia di bawah 15 tahun, sedangkan pada laki-laki terjadi pada 11,9 %. Sedangkan perempuan yang melahirkan antara usia 13-18 tahun mencapai 18 %, dan perkawinan di bawah usia 18 tahun angkatnya mencapai 49 %. BPS juga mencatat lima provinsi yang memiliki angka perkawinan bawah umur tertinggi, yaitu Jawa Timur (28 %), Jawa Barat (27,2%), Kalimantan Selatan (27 %), Jambi (23%), Sulawesi Tengah (20,8 %). Data lain menyebutkan, Bappenas melansir pada 2008 sekitar 2 juta pasangan nikah terdapat 35% pasangan merupakan pernikahan dini atau pernikahan bawah umur. Walaupun tidak ada data yang pasti namun pernikahan di bawah umur terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia .

Perkawinan anak di bawah umur menjadi kontroversi dan permasalahan karena beberapa pandangan. Kontroversi ini di antaranya karena perkawinan bawah umur bersinggungan dengan ranah agama, yang disebabkan adanya justifikasi negatif dari teks-teks agama. Dalam ajaran Islam, fikih klasik tidak menetapkan batas usia minimum bagi laki dan perempuan. Bahkan, perkawinan bawah umur berkonotasi positif, jika dilakukan atas pertimbangan kemaslahatan moral dan agama. Karena itu masyarakat yang melakukan perkawinan bawah umur mendapat legitimasi dari ajaran agama yang dianutnya tersebut .

Dalam perspektif adat, kerap kali perkawinan di bawah umur terjadi karena dorongan kultural dalam satu komunitas yang memposisikan perempuan sebagai kelas dua. Masyarakat menghindari stigma sebutan perawan tua sehingga mereka berupaya mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan.
Selain itu, perkawinan bawah umur pun kental dengan aroma dan motif ekonomi, terutama di daerah pedesaan. Keluarga-keluarga yang ekonomi lemah, akan segera menikahkan anaknya agar terbebas dari beban pembiayaan kehidupan sehari-hari. Dampak secara medis, perkawinan di bawah umur sebagai praktik tradisi yang berbahaya, karena mendatang resiko kesehatan reproduksi yang bersifat dasar, antara lain kematian ibu dan gangguan kesehatan reproduksi .

B. Permasalahan

Dari latar belakang di atas, muncul tiga persoalan penting secara yuridis yang berkembang dalam pemikiran tentang perkawinan anak di bawah umur ini. Pertama, perkawinan anak dibawah umur dinilai bertentangan dengan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang ini dijelaskan pengertian anak adalah mereka yang berusia kurang dari 18 tahun, termasuk yang masih di dalam kandungan. Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan memberikan toleransi yang cukup besar terhadap perkawinan di bawah umur karena memberi batasan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan, dan 19 tahun bagi laki-laki. Dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) disebutkan; “Perkawinan hanya diijinkan bila pihak pria mencapai usia 19 (sembilas belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. ”Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan batasan usia anak dalam Pasal 1 ayat (1) “ Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” . Pasal ini yang menyatakan dengan jelas mengkategorikan kelompok usia seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan tersebut sebagai anak-anak. Akibanya perkawinan di bawah umur sering terjadi di masyarakat karena mendapatkan legitimasi dari Undang-Undang tersebut.

Kedua, apakah benar perkawinan di bawah umur dinilai keliru bila kita mengacu kepada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sepanjang perkawinan dilakukan dengan mengacu kepada undang-undang tersebut, apakah mereka dinilai keliru atau salah? Kita tidak bisa menyalahkan perkawinan di bawah umur sepanjang pernikahan itu mengacu kepada undang-undang yang memayunginya. Baik Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-Undang Perlindungan Anak memiliki derajat yang sama. Undang-undang ini tidak bisa disalahkan begitu saja. Seorang yang menikah di bawah umur, bisa dianggap benar jika memang dia mematuhi ketentuan undang-undang yang dimaksud. Jika perkawinan anak bawah umur yang ditoleransi Undang-Undang Perkawinan bertentangan Undang-Undang Perlindungan Anak, bukankah Undang-Undang Perkawinan jauh lebih awal hadir di negara ini. Lalu kenapa perkawinan bawah umur disalahkan karena memberikan toleransi dan bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan anak?

Ketiga, bagaimana pandangan berdasarkan hak asasi manusia dan hukum kesehatan mengenai praktik-praktik dan tradisi perkawinan anak di bawah umur. Piagam PBB secara tegas memasukan salah satu asas utamanya tentang penghormatan terhadap hak asasi manusia, seperti juga tercantum dalam Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) Pasal 2 : “mengejar kebijakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui semua upaya yang tepat dan segera”. Dalam hal ini Negar-Negara Pihak diwajibkan untuk menghapuskan segala bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan pada perempuan. Di Negara kita melalui UU No.30 Tahun 2009 Pasal 133 ayat (1) menyatakan : “setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu kesehatannya” .
Berdasarkan permasalahan diatas penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang permasalahan dalam perkawinan anak di bawah umur dari segi hukum, HAM dan kesehatan.

C. Pembahasan

Dalan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pikah perempuan sudah berusia 16 tahun
“Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun” (Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan)
Dalam UU Perkawinan juga terdapat dispensasi terhadap ketentuan batas usia perkawinan yang bias dimintakan dari Pengadilan atau Pejabat lain yang di tunjuk oleh kedua orang tua/wali.
“Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita” (Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan)
Pasal lain yang menjadi masalah adalah ketentuan pernikahan seseorang di bawah usia 21 tahun harus dilakukan dengan persetujuan dari orang tua tercantum dalam Pasal 6 ayat (1)
“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.” (Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan)

Dengan ketentuan itu, Undang-Undang ini memberikan dispensasi kepada anak-anak untuk menikah di bawah umur. Padahal, pernikahan sudah pasti harus melibatkan orang tua, karena pada prinsipnya orangtua-lah yang menikahkan anaknya.

Dalam pasal tersebut di atas, tidak secara tegas tercantum larangan untuk menikah di bawah umur disertai adanya dispensasi dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang kompeten. Undang-Undang Perkawinan disalahkan karena dituding memberikan toleransi yang besar terhadap perkawinan di bawah umur. Salah satu yang dipersoalkan Undang-Undang ini adalah Pasal 7 ayat (1), yang mengatur tentang batasan usia pernikahan, yang dikategorikan sebagai usia anak-anak.

Pasal ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (2), yang memberikan definisi anak adalah sebelum usia 18 tahun.
” Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” (Pasal 1 ayat (2) UU Perlindungan Anak)

Ada 3 hal yang perlu di kritisi dari pasal-pasal di atas. Pertama, masalah batas usia perkawinan bagi perempuan yang terlalu rendah untuk melakukan perkawinan bila disandingkan dengan definisi anak pada UU Perlindungan Anak. Kedua,dengan ditetapkannya batasan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan usia 19 tahun bagi pria, berarti UU Perkawinan memberikan ruang dan toleransi bagi anak-anak untuk melakukan perkawinan di bawah umur. Ketiga, Undang-Undang Perkawinan juga memberikan legitimasi dengan sistem perwalian dan persetujuan .

Kalangan yang memiliki pandangan ini menilai bahwa Undang-Undang Perkawinan dinilai sudah tidak representatif lagi dengan kondisi kekinian. Undang-undang ini dinilai perlu di revisi dan menyesuaikan dengan fakta-fakta dan pemikiran yang berkembang di masyarakat. Dalam pemikiran lain, perkawinan di bawah umur lebih nilai negatifnya di bandingkan positifnya, dipandang dari segi manapun. Sebagaimana dikatakan dalam Undang-undang No. 23 tahun 2002, perlindungan anak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Undang-Undang melindungi setiap anak memiliki hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan bepartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi. Perkawinan di bawah umur dikhawatirkan akan membelenggu hak-hak anak dan menghentikan harapan-harapan anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berprestasi.

Terlebih dengan adanya institusi dispensasi nikah memberikan peluang yang lebih potensial untuk terjadinya perkawinan di bawah umur. Dispensasi ini banyak berdalih untuk pertimbangan tentang pencegahan hubungan di luar perkawinan yang serta merta dipertahankan untuk menjaga moralitas dan norma kesucian perempuan yang akan berdampak pada anak-anak yang lahir di luar institusi perkawinan yang sampai saat ini masyarakat masih menganggap sebagai suatu pelanggaran norma. Walaupun hal ini dalam perspektif agama merupakan suatu keharusan, akan tetapi bukan berarti harus mengabaikan bahaya serta resiko yang akan di timbulkannya.
Sistem perwalian turut memberikan konstribusi dalam terjadinya perkawinan di bawah umur berkaitan dengan rukun yang harus di penuhi oleh calon mempelai perempuan. Dengan adanya ketentuan perwalian ini memberikan peluang bagi anak-anak perempuan untuk dikawinkan secara paksa sekalipun melalui institusi dispensasi nikah. Hal ini bertentangan dengan perlindungan hukum terhadap anak yang diartikan sebagai perlindungan terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan dengan kesejahteraan anak . Sedangkan menurut UU Kesejahteraan Anak Pasal 9 mengatakan bahwa orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial

Persoalan sekarang, kenapa Undang-undang Perkawinan mengakomodir batasan umur anak-anak untuk terciptanya sebuah perkawinan?
Ada kalangan yang menilai aturan batas usia perkawinan ini memiliki kaitan dengan masalah kependudukan, yang menjadi isu penting saat Undang-undang itu disiapkan, disusun, dan dibuat DPR dan pemerintah. Dengan adanya batasan usia ini, Undang-undang perkawinan bermaksud merekayasa atau menahan laju perkawinan yang akan berdampak pada lonjakan penduduk. Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini berupaya mengendalikan ledakan penduduk dengan berbagai cara, termasuk dengan Undang-undang Perkawinan. Jika batasan usia perkawinan tidak batasi waktu itu, mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi dan berakibat kepada kematian ibu. Menurut sejarah pembentukan UU Perkawinan, yang menjadi dasar pertimbangan batas usia kawin tersebut adalah kematangan biologis seseorang bukan kedewasaannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi maraknya perkawainan dibawah umur yang banyak terjadi sejak tahun 1920-an .

Pengaturan usia dalam perkawinan ini dinilai sudah sesuai dengan prinsip-prinsip perkawinan yang menyatakan calon suami dan calon istri sudah matang jiwa dan raganya. Tujuan ini untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghasilkan keturunan yang kuat dan sehat. Pada usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, dinilai sudah memiliki kesiapan mental dan jasmani, serta sudah memiliki akil baligh sebagaimana ditekankan ajaran agama.

Batasan usia ini kemudian menjadi persoalan dan isu serius di masyarakat ketika upaya perlindungan anak mulai berkumandang. Memang, terdapat perbedaan kurun waktu yang panjang dari usia penyusunan dan pembuatan Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-undang Perlindungan Anak. Semangat yang dikampanyekannya pun berbeda, Undang-Undang Perkawinan dimaksudkan untuk mengendalikan ledakan penduduk, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak dimaksudkan untuk menjamin kehidupan anak-anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berprestasi.

Sebagaimana diketahui, upaya perlindungan anak didasarkan pada prinsip-prinsip konvensi hak anak-anak yang meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik untuk anak, hak anak untuk hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Isu perlindungan anak menguat ketika banyaknya praktek dan peristiwa yang terjadi di dunia terhadap anak-anak yang dieksploitasi untuk berbagai kepentingan, termasuk dipekerjakan sebagai tenaga kerja yang murah. Isu anak lainnya juga terjadi dalam hal perlakukan yang diskriminatif terhadap anak, anak-anak yang diperjualbelikan, dan isu lainnya.
Padahal anak harus diberi hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berprestasi dalam menjalani kehidupannya. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak menjadi manusia yang memiliki masa depan bagi dirinya sendiri sesuai dengan konsiderans dalam UU Perlindungan Anak poin (d)
” Bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Dalam pengaplikasian kedua UU ini kita dapat menganalisis pada asas hukum lex posterior derogate legi priori dan lex specialis derogate legi generali. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui sebagai suatu aturan yang berlaku. Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu” . Diperlukannya harmonisasi antar berbagai sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia agar tantangan legislasi yang timbul akibat disparitas ketentuan hukum dalam persoalan perkawinan anak di bawah umur dapat di jembatani dengan transnasionalisasi hukum dengan menggunakan instrumen HAM yang bisa di jadikan referensi matas usia minimum untuk menikah . Dalam hal ini perbedaan kurun waktu yang panjang dari penyusunan dan pembuatan Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dapat dijadikan suatu analisa yang disesuaikan dengan perkembangan terkini terutama pada pasal-pasal yang dapat menjadi celah hukum bagi terjadinya perkawinan anak di bawah umur.

Dalam kesehatan, kita dapat merujuk dasar pemikiran di balik ketentuan usia perkawinan dalam UU Perkawinan yang menitik beratkan pada aspek biologis dimana melemahkan pertimbangan yang dikaitkan dengan kesehatan reproduksi berdasarkan UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 136 ayat (2) “Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat” . Data dari Human Development Report 2010, AKB di Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran. Angka itu, 5,2 kali lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Juga, 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan Filipina dan 2,4 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand . Salah satu pemicunya adalah usia kawin yang terlalu muda yakni 16 tahun.
Mayoritas Negara telah mendeklarasikan bahwa usia minimal yang dilegalkan untuk menikah adalah 18 tahun yang merupakan implementasi kebijakan Konvensi Hak-Hak Anak pada tahun 1989. Menurut UNICEF, seorang perempuan yang hamil sebelum usia 18 tahun secar fisik dan mental belum siap untuk melahirkan seorang anak. Di dunia, persalinan yang berujung pada kematian merupakan faktor yang dominan dalam kematian gadis antara usia 15-19 tahun
Dalam perspektif HAM, anak mempunyai hak yang bersifat asasi. Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) th 1989, telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 th 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia .

Secara umum Komisi Hak-Hak Asasi Manusia menetapkan rencana aksi untuk pengapusan praktik-praktik tradisi yang mempengaruhi kesehatan perempuan anak-anak. Negara-negara berkewajiban untuk memperbaiki sikap sosial dan budaya yang bertujuan untuk membasmi praktik-praktik yang didasarkan pada pandangan yang merendahkan atau melemahkan kaum minoritas, khususnya anak-anak.
Adapun ketentuan pidana dalam yang tercantum dalam KUHP berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur terdapat dalam KUHP Pasal 288 ayat (1) “ barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus di duga bahwa sebelum mampu dikawin, diancam, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lama empat tahun ”. Selanjutnya ayat (2) “ jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidanan paling lama delapan tahun ”. Selanjutnya ayat (3) “ jika mengakibatkan mati dijatuhkan pidanan penjara paling lama duabelas tahun ”. Walaupun ketentuan pidanan sudah jelas, tetapi sampai saat ini jarang bahkan tidak pernah terdengar adanya kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut.

D. Kesimpulan dan Saran

1. Dalam pandangan hukum, perkawinan di bawah umur banyak terjadi karena besarnya toleransi yang diberikan Undang-undang Perkawinan dengan memberikan batasan usia anak (16 tahun) untuk batasan boleh menikah. Ketentuan ini membuat perkawinan anak di bawah umur tidak bisa disalahkan dan dinilai wajar oleh masyarakat karena memang diberi ruang oleh Undang-Undang. Upayanya dapat dilakukan dengan melakukan intervensi kepada pemerintah untuk segera melalukan revisi UU Perkawinan dengan menghapus dispensasi nikah, rekonsepsi sistem perwalian dan penetapan usia minimum menikah. Dari sisi subtansi hukum, usia perkawinan harus dinaikan dari yang di atur saat ini dengan mengacu pada Konvensi Hak-Hak Anak yaitu batas usia yang dikatakan anak adalah di bawah 18 tahun. Pendewasaan Usia Perkawinan diusulkan sebagai bagian dari upaya pencegahan perkawinan anak usia dini. Konsep perwalian harus diartikan sebagai pemberi restu, bukan penentu. Hal ini penting untuk menghindari adanya pemaksaan terhadap perkawinan di bawah umur .

2. Undang-undang Perkawinan dan Undang-undang Perlindungan Anak dilandasi dasar yang berbeda. Undang-undang Perkawinan didasari untuk turut mengendalikan ledakan penduduk yang dikhawatirkan saat dibuat undang-undang tersebut. Sedangkan Undang-Undang Perlindungan anak didasari untuk memberi perlindungan pada anak karena kondisi anak-anak di dunia dan di Indonesia sendiri dalam keadaan yang memprihatinkan. Jika kemudian Undang-undang Perkawinan dinilai bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan anak, khususnya menyangkut perkawinan di bawah umur perlu dilakukan upaya harmonisasi antar berbagai sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia agar tantangan legislasi yang timbul akibat disparitas ketentuan hukum dalam persoalan perkawinan anak di bawah umur dapat di jembatani dengan transnasionalisasi hukum dengan menggunakan instrumen HAM yang bisa di jadikan referensi matas usia minimum untuk menikah. Perlu adanya revisi Undang-Undang Perkawinan karena undang-undang ini tidak memiliki semangat untuk melindungi anak-anak, sebagaimana menjadi semangat Undang-Undang Perlindungan Anak. Undang-Undang Perkawinan telah berusia 37 tahun sehingga diperlukan direvisi, agar dasar dan semangat dari sebagian pasal-pasal undang-undang ini dinilai perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi terkini.

3. Dari berbagai tinjauan kesehatan terutama kesehatan reproduksi, pernikahan anak di bawah umur mempunyai banyak resiko dan bahaya karena secara fisik dan mental belum siap untuk melahirkan anak. Dampak yang ditimbulkan berupa gangguan dalam sistem reproduksi sampai kematian ibu dan bayi. UU Kesehatan sudah mengatur perlindungan kesehatan dan kesehatan reproduksi untuk remaja. Dari perspektif HAM, perkawinan anak di bawah umur tidak relevan dengan Konvensi Hak-Hak Anak. Pemerintah di tuntut untuk membuat komitmen politik dan pernyataan yang tegas untuk menghentikan praktik-praktik tradisi berbahaya yang mempengaruhi kesehatan perempuan dan anak, terutama perkawinan anak di bawah umur dengan meratifikasi instrumen-instrumen yang terkait dengan perlindungan perempuan. Selain itu diperlukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi dan upaya kritis atas wacana seksualitas yang bias patriarkis terhadap perempuan harus dilakukan secara intensif lewat cara dan media. Program pendidikan seks dan kesehatan reproduksi dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dalam kurikulum pembelajaran di sekolah.


E. DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Hanafi, Yusuf, 2011, Kontroversi Perkawinan Anak di bawah Umur, Mandar Maju Bandung
http://s2hukum.blogspot.com/2010/03/kajian-sosiologi-hukum-terhadap.html. Diakses tgl 7/6/20100
http://raspati.blogspot.com/2008/03/tinjauan-yuridis-penerapan-asas-lex.html . Diakses 9/6/2011
http://www.kabarbisnis.com/read/2816865 . Diakses 9/6/2011
http://eprints.ums.ac.id/349/1/5. Diakses 9/6/2011
Waluyadi, 2009. Hukum Perlindungan Anak. Mandar Maju.Bandung
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar