A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Obat merupakan
salah satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Akses
terhadap obat terutama obat esensial merupakan salah satu hak azasi manusia .
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan dalam pelayanan
kesehatan mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitatif yang
diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan
tingkatannya.
Kebijakan Obat Nasional (2006) mengamanatkan
bahwa upaya peningkatan mutu pelayanan
kesehatan, jaminan ketersediaan obat esensial yang aman,bermanfaat serta
bermutu dalam jumlah dan jenis yang
cukup serta akses obat bagi seluruh
masyararakat merupakan tanggungjawab pemerintah. Dengan demikian penyediaan
obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan institusi pelayanan
kesehatan baik publik maupun swasta.
Obat berbeda
dengan komoditas perdagangan lainnya, karena selain merupakan komoditas
perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial. Kebijakan Depkes terhadap
peningkatan akses obat diselenggarakan melalui beberapa strata kebijakan yaitu
Peraturan Pemerintah, Kepmenkes No. 791/MENKES/SK/VIII/2008 tentang Daftar Obat
Esensial Nasional 2008, Indonesia Sehat
2010, Sistem Kesehatan Nasional (SKN), Kebijakan Obat Nasional (KONAS), SKN
2004. KepMenKes No 004/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi
Bidang kesehatan dan KepMenKes No 1457/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) merupakan petunjuk pelaksanaan program kesehatan yang telah diserahkan
kepada pemerintah daerah. Indikator yang menyangkut obat antara lain, 100%
pengadaan obat esensial dan obat generik serta 90% penulisan obat generik di
pelayanan kesehatan dasar.
Dengan
diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan UU 32/2004 tentang Pemerintah
Daerah, beberapa peran pemerintah pusat dialihkan kepada pemerintah daerah
sebagai kewenangan wajib dan tugas pembantuan. Penyediaan dan atau pengelolaan
anggaran untuk pengadaan obat esensial yang diperlukan masyarakat di sektor
publik menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun pemerintah pusat masih
mempunyai kewajiban untuk penyediaan obat program kesehatan dan buffer stok.
Sedangkan jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat yang beredar masih tetap
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
2. Ruang Lingkup
Penerapan Daftar Obat Esensial Nasional untuk
meningkatkan ketepatan, keamanan dan kerasionalan dalam penggunaan dan
pengelolaan obat sebagai suatu langkah
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan masyarakat
3. Masalah
Obat sebagai salah satu unsur
yang penting dalam upaya kesehatan, mulai dari upaya peningkatan kesehatan,
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan harus diusahakan agar selalu
tersedia pada saat dibutuhkan. Di samping merupakan unsur yang penting dalam
upaya kesehatan, obat sebagai produk dari industri farmasi dengan sendirinya
tidak lepas dari aspek ekonomi dan teknologi. Tekanan aspek teknologi dan
ekonomi tersebut semakin besar dengan adanya globalisasi ekonomi, namun tekanan
ini pada dasarnya dapat diperkecil sedemikian rupa sehingga kebutuhan
masyarakat dapat dipenuhi sedangkan industri farmasi dapat berkembang secara
wajar. Obat juga dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi persyaratan atau
bila digunakan secara tidak tepat atau disalah gunakan. Harga obat dengan nama
dagang umumnya masih sangat tinggi dibandingkan dengan harga obat generik.
Mekanisme penetapan harga obat di sektor swasta saat ini diserahkan kepada
pasar. Mengingat obat bukan komoditi biasa dan sangat mempengaruhi kehidupan
manusia, maka harga obat di sektor swasta perlu di atur oleh pemerintah. Ketidak-rasionalan
penggunaan obat yang sering terjadi adalah polifarmasi, penggunaan antimikroba
yang tidak tepat (misalnya dalam dosis yang tidak memadai atau untuk penyakit
yang tidak memerlukan antimikroba), penggunaan injeksi secara berlebihan,
penulisan resep yang tidak sesuai dengan pedoman klinis, dan pengobatan sendiri
secara tidak tepat.
4. Tujuan
a. Ketersediaan ,
pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial
b. Keamanan,
khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta penggunaan obat yang rasional.
c. Masyarakat
terlindung dari salah penggunaan dan penyalahgunaan obat
B. Tunjauan Pustaka
Obat esensial adalah obat terpilih
yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi,
yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan
kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
1. Kriteria Obat
Esensial Nasional
(1). Memiliki rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita.
(2). Mutu terjamin,
termasuk stabilitas dan bioavailabilitas.
(3). Praktis dalam penyimpanan dan ngangkutan.
(4). Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan
dengan tenaga, sarana dan fasilitas
kesehatan.
(5). Menguntungkan dalam hal kepatuhan
dan penerimaan oleh
penderita.
(6). Memiliki rasio
manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung.
(7). Bila terdapat
lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi
yang serupa, pilihan dijatuhkan pada :
- Obat
yang sifatnya paling banyak diketahui
berdasarkan data
ilmiah;
- Obat
dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling
menguntungkan;
- Obat
yang stabilitasnya lebih baik;
- Mudah
diperoleh;
- Obat
yang telah dikenal.
(8). Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi
kriteria berikut :
- Obat
hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk
kombinasi tetap;
- Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan
yang lebih
tinggi daripada masing-masing komponen;
- Perbandingan dosis komponen kombinasi
tetap merupakan
perbandingan yang tepat untuk
sebagian besar penderita
yang memerlukan kombinasi tersebut;
- Kombinasi tetap harus
meningkatkan
rasio
manfaat-biaya
(benefit-cost ratio);
- Untuk
antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah
atau mengurangi terjadinya resistensi dan efek
merugikan
lainnya.
2 2.
Penerapan Konsep Obat Esensial
Obat esensial
adalah obat paling mendasar yang dibutuhkan oleh pelayanan kesehatan. Jika dalam
pelayanan kesehatan diperlukan obat di luar DOEN, dapat
disusun dalam Formularium (RS) atau Daftar obat terbatas
lain (Daftar Obat PKD, DPHO Askes).
Penerapan Konsep Obat Esensial dilakukan melalui Daftar Obat Esensial Nasional, Pedoman Pengobatan, Formularium Rumah Sakit,
Daftar
obat
terbatas
lain
dan Informatorium Obat Nasional Indonesia yang merupakan komponen
saling terkait untuk mencapai peningkatan ketersediaan dan suplai obat serta kerasionalan penggunaan obat.
3 3.
Daftar Obat Esensial Nasional
Daftar Obat Esensial Nasional
(DOEN) merupakan daftar
berisikan obat terpilih
yang paling dibutuhkan dan diupayakan tersedia di unit pelayanan
kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. DOEN merupakan standar nasional
minimal untuk pelayanan kesehatan.
Penerapan DOEN
dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai
salah satu langkah
untuk memperluas, memeratakan
dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten
dan terus menerus di semua unit pelayanan
kesehatan.
Bentuk sediaan,
kekuatan sediaan dan besar kemasan
yang tercantum dalam DOEN
adalah mengikat.
Besar kemasan untuk masing-masing unit pelayanan kesehatan didasarkan pada efisiensi pengadaan dan
distribusinya dikaitkan dengan
penggunaan.
4. Pedoman Pengobatan
Pedoman Pengobatan
disusun secara sistematik untuk membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dan
pengobatan yang optimal untuk suatu penyakit tertentu. Pedoman Pengobatan disusun untuk setiap
tingkat unit pelayanan kesehatan, seperti
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas
dan Pedoman Diagnosis
dan Terapi di Rumah Sakit. Pedoman Pengobatan memuat informasi penyakit,
terutama penyakit yang umum terjadi dan keluhan-keluhannya serta informasi tentang
obatnya meliputi kekuatan, dosis dan lama pengobatan.
5 5.
Formularium Rumah Sakit
Formularium Rumah Sakit merupakan daftar obat yang disepakati beserta infomasinya yang harus diterapkan di Rumah Sakit. Formularium Rumah Sakit
disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) / Komite Farmasi dan Terapi (KFT) Rumah Sakit berdasarkan DOEN dan
disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiah
dibutuhkan untuk pelayanan di Rumah Sakit tersebut. Penyusunan Formularium
Rumah Sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku. Penerapan
Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan
evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
6 6. Formularium Spesialistik
Formularium
Spesialistik merupakan suatu buku yang berisi informasi lengkap obat- obat yang paling dibutuhkan oleh dokter spesialis bidang tertentu, untuk
pengelolaan pasien dengan indikasi
penyakit tertentu.
Formularium Spesialistik disusun untuk meningkatkan ketaatan
para dokter spesialis Rumah Sakit terhadap Formularium Rumah Sakit yang selama ini masih sangat rendah. Bidang spesialisasi tertentu bisa saja mempunyai banyak
subspesialisasi, misalnya bidang spesialisasi Ilmu Kebidanan dan Penyakit
Kandungan, merupakan bidang spesialisasi yang mempunyai banyak
subspesialisasi, sehingga dapat
disusun
daftar obat
esensial khusus untuk ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Penyusunan
Formularium Spesialistik melibatkan baik asosiasi profesi dokter spesialis
terkait maupun masing-masing subspesialisasinya. Dengan keikutsertaan serta
peran aktif para spesialis diharapkan para spesialis tersebut merasa memiliki
sehingga penggunaan obat rasional dapat diterapkan dengan baik.
7. Informatorium Obat Nasional Indonesia
Informatorium Obat
Nasional Indonesia berisi informasi obat yang beredar dan disajikan secara ringkas dan sangat relevan
dengan kebutuhan dokter, apoteker
dan tenaga kesehatan lainnya. Informatorium Obat Nasional Indonesia
diterbitkan oleh Departemen Kesehatan untuk menjamin obyektivitas, kelengkapan
dan tidak menyesatkan. Informasi obat yang disajikan meliputi indikasi, efek
samping, dosis, cara penggunaan dan informasi lain yang penting bagi penderita.
Pengembangan Informatorium Obat Nasional Indonesia dilakukan berdasarkan bukti
yang didukung secara ilmiah yang berkaitan dengan kemanfaaatan dan penggunaan obat.
8.
Pengelolaan dan Penggunaan Obat
Untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, penggunaan obat esensial pada unit
pelayanan kesehatan selain harus disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang
telah ditetapkan, juga sangat berkaitan dengan pengelolaan obat. Pengelolaan obat yang efektif
diperlukan untuk menjamin
ketersediaan obat dengan jenis
dan jumlah yang tepat dan memenuhi standar mutu.
Aspek yang penting dalam
pengelolaan obat meliputi
antara lain :
- Pembatasan
jumlah
dan
macam
obat
berdasarkan
Daftar
Obat
Esensial menggunakan nama generik, dengan perencanaan yang tepat.
- Pengadaan dalam jumlah besar (bulk
purchasing).
- Pembelian yang transparan dan kompetitif.
- Sistem audit dan pelaporan dari kinerja pengelolaan.
Penerapan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membawa implikasi terhadap
organisasi kesehatan di propinsi,
kabupaten maupun kota.
Demikian pula halnya
dengan organisasi pengelolaan obat, masing-masing daerah kabupaten
/ kota mempunyai struktur organisasi
dan kebijakan sendiri dalam pengelolaan obat. Dimana hal ini membuka
berbagai peluang terjadi perbedaan yang
sangat
mendasar di
masing-masing Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pengelolaan obat.
Siklus distribusi obat dimulai pada saat produk obat keluar dari pabrik atau distributor, dan berakhir pada
saat laporan konsumsi obat diserahkan kepada unit pengadaan. Distribusi obat yang efektif harus memiliki desain sistem dan manajemen yang baik dengan cara
antara lain:
menjaga suplai obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat yang baik selama proses distribusi, meminimalkan obat yang
tidak terpakai karena rusak atau
kadaluarsa dengan perencanaan yang tepat sesuai kebutuhan masing-masing daerah,
memiliki catatan penyimpanan yang akurat, rasionalisasi depo obat dan pemberian informasi untuk
memperkirakan kebutuhan obat.
Dengan adanya
desentralisasi diharapkan kabupaten/kota maupun provinsi dapat
mencukupi kebutuhan obatnya
masing-masing. Pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kesehatan hanya memback-up
manakala kabupaten/kota maupun provinsi tidak dapat memenuhi kebutuhannya. DOEN merupakan dasar untuk perencanaan dan pengadaan obat baik di daerah (kabupaten / kota / provinsi) dan tingkat pusat.
Untuk pengelolaan
dan penggunaan obat khusus (spesialistik) dalam mengatasi keadaan tertentu, pemerintah
c.q. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI dapat memasukannya melalui jalur khusus (special acces s
c h e m e ) s e s u a i d e n g a n K e p u t u s a n
M e n t e r i
K e s e h a t a n
N o m o r
:
1379.A/Menkes/SK/XI/2002.
9. Komunikasi,
Informasi dan Edukasi
(KIE)
KIE mengenai obat
esensial merupakan suatu prasyarat untuk mendorong penggunaan obat dan penulisan resep yang rasional
oleh tenaga kesehatan. KIE kepada tenaga kesehatan
dan masyarakat dalam rangka peningkatan penggunaan obat yang rasional
perlu ditingkatkan dan dilaksanakan secara terus-menerus melalui
jalur berikut:
a. Instansi Pemerintah / Swasta
b. Organisasi Profesi yang terkait
c. Kurikulum pendidikan tenaga kesehatan d. Jalur
lain yang memungkinkan
Setiap obat yang tercantum
dalam DOEN harus disertai dengan informasi yang akurat dan obyektif sehingga dapat dimengerti
oleh tenaga kesehatan. Informasi tersebut meliputi indikasi, kontraindikasi,
dosis, cara penggunaan, peringatan perhatian, efek samping, interaksi obat dan bentuk sediaan.
1 10.
Penelitian dan Pengembangan
Penelitian dan
pengembangan dilakukan untuk menunjang proses penyusunan dan penyempurnaan DOEN. Penelitian dan pengembangan tersebut dilaksanakan
sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
kesehatan
dalam
bidang kedokteran,
farmasi, epidemiologi,
dan
pendidikan. Hasil penelitian dan p e n g e m b a n g a n d i g u n a k a n s e b a g a i m a s u k a n d a l a m p r o s e s r e v i s i d a n
penyempurnaan DOEN secara berkala.
.
11. Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi dilakukan
untuk menunjang keberhasilan penerapan DOEN melalui mekanisme pemantauan dan evaluasi keluaran dan dampak
penerapan DOEN yang sekaligus dapat mengidentifikasi
permasalahan
potensial
dan strategi penanggulangan yang efektif. Hal ini dapat dicapai melalui koordinasi, supervisi, pemantauan dan evaluasi
penerapan DOEN
oleh Departemen Kesehatan. Pemantauan dan evaluasi tersebut dilaksanakan secara
berjenjang sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
12.
Revisi DOEN
DOEN perlu
direvisi dan disempurnakan secara berkala. Revisi tidak hanya untuk
menyesuaikan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan,
tetapi
juga
untuk
kepraktisan
dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga kesehatan dan
sarana pelayanan kesehatan yang ada. Penyempurnaan DOEN
dilakukan secara terus
menerus dengan usulan
materi dari unit pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan penelitian kesehatan, baik pemerintah maupun swasta,
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Revisi DOEN
dilaksanaka secara periodik setiap 3 (tiga) tahun.
13.
Jaga Mutu
Jaga mutu
obat
menyeluruh
yang
meliputi
tahap
pengembangan
produk,
Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), monitoring mutu obat pada rantai distribusi
dan penggunaannya, merupakan elemen penting dalam penerapan konsep obat esensial.
1 14.
Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik makin meningkat terutama
pada antibiotik esensial
lini pertama, yang relatif
murah harganya. Keadaan ini dinilai sangat membahayakan, karena pada
akhirnya dunia kesehatan akan
kehilangan antibiotik yang masih peka dan potensial untuk memerangi
penyakit-penyakit
infeksi
yang
baru
muncul
(emerging)
maupun
muncul kembali (reemerging). Penyebabnya karena penggunaan antibiotik
yang tidak rasional, baik oleh tenaga kesehatan
maupun penderita. Untuk mengatasi masalah
resistensi antibiotik diperlukan upaya-upaya :
a.
Menyelenggarakan surveilans pola resistensi
mikroba
sehingga
diperoleh
pola
resisten bakteri terhadap
antibiotik.
b.
Menyelenggarakan surveilans pola penggunaan
antibiotik.
c.
Penyelenggara surveilans pola penggunaan antibiotik adalah institusi penelitian dan rumah sakit,
Puskesmas, Dinas Kesehatan
serta institusi kesehatan, pendidikan dan penelitian lain.
d.
Mengendalikan penggunaan antibiotik oleh petugas kesehatan dengan
cara memberlakukan kebijakan penulisan
resep antibiotik secara bertahap sesuai dengan
keadaan penderita dan penyakit yang dideritanya, dengan pilihan mulai dari antibiotik lini pertama, kedua, ketiga dan antibiotik yang sangat dibatasi
penggunaannya.
e.
Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi kepada semua
pihak yang menggunakan antibiotik baik petugas kesehatan maupun penderita atau masyarakat
luas tentang cara menggunakan antibiotik secara rasional dan bahaya yang
ditimbulkan akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional.
C. Kesimpulan
1.
Strategi untuk menjamin ketersediaan, pemerataan &
keterjangkauan obat esensial :
- b. Perlu sistem pembiayaan obat berkelanjutan, baik sector publik maupun sektor swasta.
- c. Rasionalisasi harga obat dan pemanfaatan obat generik.
- d. Penerapan sistem pengadaan dalam jumlah besar atau pengadaan bersama di sektor publik.
- e. Penyiapan peraturan yang tepat untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat.
- f. Memanfaatkan skema dalam TRIPs seperti Lisensi Wajib,
- g. Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dan parallel import
2. Strategi untuk menjamin keamanan, khasiat dan
mutu obat beredar, serta perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah
& penyalahgunaan obat
- a. Penilaian keamanan, khasiat & mutu melalui proses pendaftaran.
- b. Binwasdal impor, ekspor, produksi, distribusi dan pelayanan obat (penerapan standar proses dan standar komoditi).
- c. Adanya dasar hukum dan penegakan hukum secara konsisten, dengan efek jera yang tinggi untuk setiap pelanggaran.
3. Strategi untuk menjamin keamanan, khasiat
dan mutu obat beredar, serta perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah
& penyalahgunaan obat
- a. Penyempurnaan standar sarana produksi, sarana distribusi dan sarana pelayanan obat.
- b. Pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan & penyebaran informasi terpercaya, untuk menghindarkan dari penggunaan yang tidak memenuhi standar dan penyalahgunaan obat.
- c. Penyempurnaan dan pengembangan berbagai standar dan pedoman.
4.
Strategi untuk menjamin penggunaan obat yang rasional
- a. Penerapan penggunaan DOEN dalam setiap upaya pelayanan kesehatan.
- b. Penerapan pendekatan farmakoekonomi melalui analisis biaya-efektif dengan biaya manfaat pada seleksi obat yang digunakan di semua tingkat pelayanan kesehatan.
- c. Penerapan pelayanan kefarmasian yang baik (pharmaceutical care), perubahan dari product oriented ke patient oriented.
- d. Pemberdayaan masyarakat melalui KIE.(Konseling,Informasi, Edukasi)
5. Sasaran
Kebijakan
- a. Pembiayaan Obat : Masyarakat, terutama masyarakat miskin dapat memperoleh obat esensial setiap saat diperlukan.
- b. Ketersediaan & pemerataan obat : Obat yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, terutama obat esensial senantiasa tersedia.
- c. Keterjangkauan: Harga obat terutama obat esensial terjangkau oleh masyarakat.
- d. Seleksi obat esensial: Tersedianya DOEN sesuai perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan secara luas.
- e. Penggunaan obat yang rasional:Penggunaan obat dalam jenis, bentuk sediaan, dosis dan jumlah yang tepat, disertai informasi yang benar, lengkap & tidak menyesatkan.
- f. Pengawasan obat: Obat yang beredar harus memenuhi syarat keamanan, khasiat dan mutu.
- g. Masyarakat terhindar dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat.
- h. Penelitian dan pengembangan: Peningkatan penelitian di bidang obat untuk menunjang penerapan KONAS.
- i. Pengembangan SDM :Tersedianya SDM yang menunjang pencapaian tujuan KONAS.
- j. Pemantauan dan evaluasi: Menunjang penerapan KONAS melalui pembentukan mekanisme pemantauan & evaluasi kinerja serta dampak kebijakan, guna mengetahui hambatan & penetapan strategi yang efektif.
E. Saran
1. Pembiayaan
Obat
Hal utama yang menjamin
tersedianya obat esensial bagi masyarakat adalah terjaminnya ketersediaan
pembiayaan yang memadai secara berkelanjutan. Penyediaan biaya yang memadai
dari pemerintah sangat menentukan ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial
oleh masyarakat. Salah satu upaya untuk menjamin pembiayaan obat bagi
masyarakat, adalah bila semua anggota masyarakat dicakup oleh sistem JPKM.
2.
Ketersediaan obat
Ketersediaan obat esensial secara
nasional harus dijamin oleh pemerintah. Demikian pula pemerataannya di seluruh
wilayah Indonesia. Sementara itu efisiensi dan efektivitas sistem distribusi
perlu ditingkatkan terus untuk menunjang ketersediaan dan kerterjangkauan obat
yang berkelanjutan.. Untuk menunjang penggunaan obat secara rasional perlu
dilakukan peningkatan profesionalisme
3. Keterjangkauan
obat
Upaya untuk
keterjangkauan atau akses obat di upayakan dari dua arah, yaitu dari arah
permintaan pasar dan dari arah pemasok. Dari arah permintaan diupayakan melalui
penerapan Konsep Obat Esensial dan penggunaan obat generik. Dari segi pasokan
ditempuh berbagai upaya, antara lain dengan menghindarkan adanya monopoli.
Selain itu diterapkan pula kebijaksanaan mengenai harga obat (pricing policy),
yang disesuaikan dengan stabilitas ekonomi dan kemampuan pengelolaannya oleh birokrasi.
Untuk menunjang kebijakan harga obat dikembangkan system informasi harga obat.
4.
Seleksi obat esensial
Agar sistem pelayanan kesehatan berfungsi
dengan baik, obat esensial harus selalu tersedia dalam jumlah dan jenis yang
memadai, bentuk sediaan yang tepat, mutu terjamin, informasi yang memadai, dan
dengan harga yang terjangkau.Proses pemilihan harus memperhatikan adanya
konsultasi dan transparansi, kriteria pemilihan yang eksplisit, pemilihan yang
terkait dengan pedoman klinis berbasis bukti ilmiah terkini, daftar dan pedoman
klinis yang berbeda untuk setiap tingkat pelayanan yang diperbaharui secara
berkala
5.
Penggunaan obat rasional
Untuk mengatasi permasalahan penggunaan
obat yang tidak rasional perlu dilakukan pemantauan penggunaan obat. Evaluasi
penggunaan obat yang terarah dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah
penggunaan obat tertentu atau pengobatan penyakit tertentu.
6.
Regulasi Obat
Regulasi obat merupakan tugas
yang kompleks yang melibatkan beberapa
pemangku kepentingan (stakeholders).
Regulasi hanya dapat berfungsi dengan baik apabila ditunjang oleh sumber daya
manusia yang kompeten, serta berintegritas tinggi. Untuk mendapatkan
kepercayaan masyarakat, regulasi obat harus dilaksanakan secara indpenden dan
transparan.
7.
Pemantauan dan evaluasi
Penggunaan obat esensial memerlukan
pemantauan secara berkala dan dievaluasi. Kegiatan pemantauan dan evaluasi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pengembangan kebijakan.
Dari pemantauan kebijakan akan dapat dilakukan koreksi yang dibutuhkan.
Sedangkan evaluasi kebijakan dimaksudkan sebagai melakukan studi tentang
penyelenggaraannya, melaporkan output-nya, mengukur outcome,
mengevaluasi pengaruhnya (impact) pada kelompok sasaran, memberikan
rekomendasi serta penyempurnaan kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Daftar Obat esensial Nasional 2008, Depkes RI 2008
2.
Kebijakan Obat Nasional, Depkes RI 2005
3. Kepmenkes No. 791/MENKES/SK/VIII/2008 tentang Daftar
Obat Esensial Nasional 2008
4.
Kebijakan obat nasional, DOEN dan Perundangan obat,
Widyawati, 2009 diakses dari http//: ocw.usu.ac.id, tanggal
15-10-2011
6.
Obat esensial sebagai strategi dasar kebijakan obat
nasional, Dinkes Kab. Bone