Senin, 21 November 2011

Analisis Pasca Pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

A. Latar Belakang Permasalahan

Kesehatan adalah hak asasi manusia sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan, dengan tujuan guna meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Plato mengungkapkan bahwa negara dibentuk oleh dan ditujukan untuk manusia. Negara mensejahterakan rakyatnya adalah suatu keharusan. Aristoteles pun mengatakan, tujuan pembentukan negara adalah untuk kebaikan seluruh rakyat, bukan untuk sekelompok orang saja. Rakyat harus selalu menjadi tujuan dan sasaran dari semua kebijakan. Negara tidak bisa semena-mena membuat kebijakan tanpa mengutamakan kesejahteraan rakyat. Hal ini pun berlaku di Indonesia, sebagaimana digariskan Pendiri Bangsa (founding fathers) yang diamanatkan dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945.
UUD 1945 Pasal 28 H menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang bermartabat”, dan Pasal 34 ayat 2, bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu.

Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan social yang diselenggarakan negara guna menjamin warganegaranta untuk memenuhi dasar kebutuhan dasar hidup yang layak, sebagaimana dalam Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102 tahun 1952. Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2002 yang bertujuan untuk menyusun suatu Undang-undang SJSN. Setelah melalui proses yang panjang, pemerintah RI bersama DPR secara resmi menetapkan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tanggal 19 Oktober 2004. Undang-undang SJSN tersebut merupakan inti dari suatu tujuan dibentuknya Indonesia dan merupakan penjabaran pasal 34 UUD45 hasil amandemen ke-empat tahun 2002.

Badan penyelenggaran jaminan sosial yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN Nomor 40 tahun 2004 menyatakan bahwa badan penyelelenggara jaminan social harus di bentuk oleh undang-undang. Akhirnya DPR dan pemerintah menetapkan RUU BPJS menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna Kamis 27 Oktober yang lalu. Undang-undang BPJS ini merupakan amanat dari UU 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang memerintahkah kepada pemerintah untuk membentuk suatu Badan Penyelenggara (Bapel) selambat-lambatnya 5(lima) tahun sejak tanggal ditetapkan. Sehingga semestinya pada Tahun 2009, pemerintah telah memiliki UU BPJS ini, namun ternyata baru pada Tahun 2011 ini berhasil ditetapkan.

Dalam UU BPJS ini, telah diatur bahwa pemerintah akan menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang terdiri dari Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua (Pensiun). Pemerintah harus membentuk Badan Penyelenggara untuk melaksanakan 4 program jaminan sosial ini. Hal ini memang sesuai dengan UUD Pasal 28 ayat (2) huruf b yang menyatakan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia. Kemudian pada ayat yang lain disebutkan bahwa pemerintah harus menjamin pembiayaan kesehatan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Pemerintah menyatakan dengan disyahkannya Undang-Undang Mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dapat membantu stimulus fiskal, akan ada program-program perlindungan sosial, sehingga pemerintah bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam bentuk perlindungan asuransi dan lainnya. Secara subtansi UU BPJS mengatur kewajiban negara untuk memberi lima jaminan dasar bagi rakyatnya. BPJS I yang akan mengatur tentang jaminan kesehatan di mana PT Askes nantinya akan ditransformasi menjadi sebuah badan hukum baru yang bersifat nirlaba.
Selain itu ada BPJS II atau yang akan mengatur tentang kecelakaan kerja, kematian, pensiun dan tunjangan hari tua. Pelaksaannya nantinya akan mentransformasi tiga BUMN, yakni Jamsostek, ASABRI dan Taspen. Dalam paripurna tersebut disepakati bahwa untuk BPJS I akan dilaksanakan pada 1 Januari 2014. Sedangkan BPJS II badan hukumnya dibentuk pada 1 Januari 2014 dan selambat-lambatnya pada Juli 2015 harus sudah bisa dilaksanakan. Dengan disahkan UU BPJS, masyarakat akan mendapatkan jaminan yang memadai.

Dalam Pasal 5 ayat (3) UU SJSN menyatakan bahwa sebagai tatacara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa penyelenggara jaminan sosial Badan penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana pada ayat (1) adalah JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI DAN ASKES. UU tersebut juga mengamanatkan perubahan status badan hukum empat BUMN penyelenggara jaminan sosial menjadi badan hukum publik. Usulan DPR agar keempat lembaga tersebut melebur dinilai bertentangan dengan undang. Akan tetapi DPR beralasan pihaknya menginginkan keempat lembaga melakukan merger agar lebih efisien sehingga data base bisa dipusatkan atau disentralisasi. Salah satu lembaga penjamin yang tidak setuju dilebur menjadi satu dalam BPJS adalah PT Jamsostek dengan alasan karena di UU SJSN disebut beberapa penyelenggara.

Bukan persoalan yang mudah untuk menggabungkan 4 buah BUMN yang masing-masing memiliki kondisi internal dan kekuatan modal yang berbeda-beda. Maka sangat dapat dipahami jika JAMSOSTEK terkesan paling ngotot menolak merger dengan 3 BUMN lainnya. Karena JAMSOSTEK memiliki kekuatan sistem yang lebih baik jika dibandingkan dengan 3 BUMN lainnya . Migrasi program BPJS tidak akan mudah karena pemindahan tersebut bukan sekadar pemindahan peserta baru, melainkan juga peserta lama yang menyangkut data, pemasukan data, sistem, jaringan kerja, sistem komunikasi, dan sebagainya. Migrasi juga dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pelayanan karena standar pelayanannya kemungkinan akan disesuaikan dengan standar pelayanan bantuan sosial atau jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), sementara pekerja selama ini membayar iuran untuk mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan, jika kualitas pelayanan sama, hal itu akan mendorong pekerja mendaftarkan diri sebagai penduduk miskin.

Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) bermaksud mengajukan judicial review atas Undang-Undang (UU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) karena dinilai bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hal ini berkaitan dengan migrasi program Jaminan Pelayanan Kesehatan dari PT Jamsostek ke BPJS Kesehatan (PT Askes) bertentangan dengan UU SJSN karena dalan UU ini mengakui PT Jamsostek, PT Asabri, PT Taspen dan PT Askes sebagai badan penyelenggara jaminan sosial. Selain itu masa tenggang yang diberikan cukup lama yakni pada 2014 dan 2015sebagaimana yang diamanatkan oleh UU BPJS .

Penetapan UU BPJS ini akan mengundang pertanyaan bagi kita semua, bagaimanakan kelanjutan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin yang selama ini dijalankan pemerintah melalui program JAMKESMAS pasca diberlakukannya UU BPJS? Setidaknya ada 4 hal pokok yang mendasar akan berubah dengan berlakunya UU BPJS ini yaitu :
1. Badan penyelenggara jaminan kesehatan yang sebelumnya dijalankan oleh Kementerian Kesehatan akan berubah dan diambil alih oleh badan penyelenggara yang merupakan hasil merger dari 4 BUMN di atas.
2. Sumber pendanaan yang sebelumnya berasal dari APBN pada pos bantuan sosial akan berubah menjadi premi wajib yang dibayarkan oleh pemerintah.
3. Sumber pendanaan yang berasal dari peserta PNS melalui iuran ASKES dan pegawai swasta melalui iuran jamsostek akan menjadi sumber dana subsidi silang bagi masyarakat miskin yang didanai oleh pemerintah.
4. Akan terjadi perubahan data kepesertaan terutama peserta jamkesmas yang signifikan pasca UU SJSN, mengingat pembayaran premi bagi masyarakat miskin akan di bayarkan oleh pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas permasalahan pasca penetapan UU BPJS ini, karena bagi kalangan politisi memperjuangkan orang miskin bisa menjadi nilai jual yang sangat tinggi, mendatangkan keuntungan-keuntungan secara politik sedangkan bagi masyarakat sendiri hanya dijadikan objek tanpa diberikan penjelasan dan pemahaman tentang keuntungan keberadaan UU BPJS.

B. Analisa Masalah dan Pembahasan

Salah satu tujuan pembentukan Pemerintah Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehubungan dengan itu, Pasal 28H ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas jaminan social yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat. Selanjutnya Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, telah ditetapkan Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan tujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat melalui penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, badan penyelenggara yang telah ada dan dibentuk dengan Peraturan Pemerintah dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Tetapi setelah Putusan Mahkamah Konstitusi pada Perkara No. 007/PU-III/2005 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Agustus 2005 menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pembentukan badan penyelenggara harus dibentuk dengan Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional segala ketentuan mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus disesuaikan dengan Undang-Undang dimaksud paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional diundangkan pada tanggal 19 Oktober 2004.

Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tingkat daerah dapat dibentuk dengan Peraturan Daerah dengan memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai penyelenggara program jaminan sosial pada hakekatnya melaksanakan pengumpulan dana yang bersif at wajib berdasarkan mekanisme asuransi sosial dan tabungan wajib untuk kepentingan peserta. Mengingat sifat wajib dalam pengumpulan dana, maka dalam pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus memperhatikan ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam arti bahwa pungutan yang bersifat memaksa tidak boleh diatur dalam peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Undang-Undang ini pada dasarnya mengatur prinsip penyelenggaraan, pembentukan, tugas dan wewenang, kewajiban dan hak, organ, dan penyelenggaraan program serta Undang, sehingga memberi kepastian hukum dalam menyelenggarakan program jaminan sosial.
Dengan demikian, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat melaksanakan prinsip-prinsip penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional sesuai dengan ketentuan Undang-Undang untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada peserta. Keberhasilan penyelenggaraan program jaminan sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial perlu didukung oleh kebijakan Pemerintah di bidang ketenagakerjaan, perekonomian, dan kebijakan pelay anan publik yang kondusif, serta komitmen politik untuk pemberdayaan masyarakat dan memprioritaskan terwujudnya Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat.

Penyesuaian secara yang perlu dilakukan terhadap semua ketentuan yang mengatur mengenai 4 BUMN sebagai badan pelaksanan jaminan kesehatan yaitu Jamsostek, Taspen, ASABRI dan Askes dengan UU SJSN pasca putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a.Jenis peraturan perundang-undangan yang mengaturnya harus dalam bentuk undang-undang.
b.BPJS merupakan badan hukum yang bersifat nirlaba dan dibentuk untuk menyelenggarakan jaminan sosial.
c.BPJS mengelola dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang digunakan untuk :
1)Pembayaran manfaat kepada peserta;
2)Pembayaran operasional penyelenggaraan program jaminan sosial
d.Struktur organisasi BPJS yang ramping dan kaya fungsi serta standar operasional dan prosedur kerja BPJS yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
e.Mekanisme pengawasan terhadap BPJS
f.Syarat-syarat bagi Pemerintah Daerah untuk dapat membentuk BPJS Daerah sebagai sub system penyelenggaraan jaminan sosial berdasarkan UU SJSN.
g.Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial, termasuk tingkat kesehatan keuangan BPJS dilakukan oleh DJSN.
h.Masa transisi dari BPJS yang profit oriented ke non profit.

Ketentuan yang mengatur 4 Persero Peyelenggara jaminan sosial yang ada sekarang yang perlu disesuaikan dengan UU SJSN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.
Pokok-pokok RUU BPJS sebagai berikut:
1.BPJS adalah badan hukum yang dibentuk dengan undang-undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial
2.BPJS bersifat nirlaba dalam pengertian bahwa tujuan utama untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta atau dengan kata lain mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh peserta.
3.Dengan dibentuknya BPJS berdasarkan UU BPJS maka Persero Jamsostek, Taspen, ASABRI dan ASKES dinyatakan bubar pada saat diundangkannya UU BPJS dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan, peserta yang ada pada saat pembubarannya, beralih kepada BPJS.
4.BPJS berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta dan dapat membentuk kantor-kantor wilayah / cabang pada tingkat Provinsi / Kabupaten / Kota.
5.Modal BPJS merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan iuran peserta beserta hasil pengembangannya yang digunakan untuk :
a.Pembayaran manfaat kepada masyarakat;
b.Pembayaran operasional penyelenggaraan program jaminan sosial
6.BPJS betangggung jawab kepada Presiden melalui DJSN.
7.Direksi wajib menyusun Rancangan Rencana Jangka Panjang (RJP) sebagai penjabaran kebijakan umum penyelenggaraan SJSN yang ditetapkan oleh DJSN.
8.Direksi wajib menyampaikan laporan berkala setiap semester kepada Dewan Pengawas dan laporan tahunan kepada DJSN untuk mendapat pengesahan. Pada akhir masa jabatan Direksi menyampaikan laporan pelaksanaan RJP kepada DJSN.
9.Direksi bertanggung jawab sepenuhnya untuk memenuhi kewajiban BPJS sebagaimana ditentukan dalam UU SJSN.
10.Dalam ketentuan peralihan antara lain perlu diatur
a.Status peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan program jaminan
social yang berlaku sekarang
b.Status organ Persero yang ada sampai terbentuknya organ BPJS sesuai dengan
ketentuan UU BPJS
11. Proses waktu penyesuaian dengan ketentuan UU BPJS.

Berdasarkan Rancangan UU BPJS diatas, penulis akan membahas pokok-pokok masalah yang mungkkin timbuk pasca di tetapkan UU BPJS. Pokok permasalahn yang pertama adalah tentang ketentuan mentranformasikan Badan Penyelenggara yang ada sekarang yaitu PT. (Persero) Jamsostek, PT. (Persero) Taspen, PT. (Persero) Asabri dan PT. Askes Indonesia (Persero) menjadi BPJS menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2004. Implikasinya adalah secara makro pemerintah akan menggabungkan 4 BUMN yang saat ini sudah existing menyelenggarakan jaminan sosial tersebut yaitu ASKES, JAMSOSTEK, TASPEN dan ASABRI.

Tentu bukan persoalan yang mudah menggabungkan 4 buah BUMN yang masing-masing memiliki kondisi internal dan kekuatan modal yang berbeda-beda. PT Jamsostek, satunya-satunya yang menolak dilakukan penggabungan dengan BUMN yang lain. Penolakan PT. Jamsostek mengacu pada UU SJSN Pasal 5 ayat (3) yang menyatakan bahwa penyelenggaran jaminan social terdiri dari beberapa penyelenggara, diantaranya PT Jamsostek. Hal ini sangat di mengerti mengingat PT. Jamsostek memiliki kekuatan sistem, SDM dan asset di semua lini akan sangat keberatan apabila digabungkan dengan ASKES, TASPEN dan ASABRI yang mungkin secara asset dan sistem tidak sekuat JAMSOSTEK.

Pasal 52 mengamanatkan kepada Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes untuk menyesuaikan dengan UU SJSN, bukan merger. Keempat BUMN itu diwajibkan tunduk pada UU SJSN yaitu cara penyelenggaraan dan pengelolaan jaminan sosial. Namun demikian, UU SJSN tidak menentukan penyelenggara ditugasi berdasarkan program atau kelompok masyarakat. Dengan demikian, sangatlah jelas penyelenggaraan jaminan sosial terbagi dalam dua kelompok yaitu berdasarkan kelompok masyarakat pekerja yang mempunyai majikan dan kelompok rakyat yaitu warga negara yang menjadi kewajiban pemerintah.
Jika hal tersebut di atas dapat dipahami oleh DPR dan pemerintah, maka sangat mudah merealisasi UU BPJS. Bila SJSN mengatur program jaminan sosial, maka idealnya UU BPJS mengatur segala hal tentang badan penyelenggara. Kewenangan tersebut meliputi tata cara pendirian, kepengurusan, sumber dan pengelolaan kekayaan, hak dan kewajiban peserta, pengusaha atau pemerintah, jaminan negara terhadap kelangsungan jaminan sosial, fasilitas perpajakan, pembinaan dan pengawasan.

Dengan ketentuan itu, apa pun bentuk badan hukum penyelenggara harus menjalankan prinsip-prinsip jaminan sosial-sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU SJSN yaitu gotong royong, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, profitabilitas, kesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan kepentingan peserta. Selama ini masih diperdebatkan tentang ketentuan BPJS adalah nirlaba, dana amanat, dan peruntukan hasil pengelolaan dana jaminan sosial. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan bentuk badan hukum empat BUMN perseroan yang saat ini mengurus jaminan sosial tenaga kerja, PNS dan TNI yaitu profit oriented.

Pengertian nirlaba adalah tidak mencari keuntungan atas suatu kegiatan badan. Badan nirlaba mempunyai ciri antara lain tidak bergerak di bidang komersial, kelemahannya kepemilikan kolektif sehingga tidak jelas, tidak timbul hak dan kewajiban antara penyumbang dana dengan badan nirlaba dan tidak memupuk laba sehingga tidak pernah membagikan apa pun kepada siapa pun. Dana amanat mempunyai pengertian iuran yang terkumpul merupakan dana titipan. Berbalik dengan status dana di badan nirlaba, dana atau iuran yang diserahkan dianggap sumbangan sehingga menjadi kekayaan badan nirlaba tersebut bukan penyumbang. Bila iuran itu dianggap dana titipan, BPJS harus mempunyai wali amanat yang mewakili kepentingan peserta jaminan sosial. Sekalipun BUMN perseroan tidak mengenal dana amanat dan wali amanat tapi selama ini penerimaan iuran jaminan sosial itu dikelola dan dikembangkan untuk meningkatkan dana cadangan, sedangkan fungsi wali amanat justru di-take over oleh Menteri BUMN sebagai wakil negara sekaligus pemegang saham tunggal.

Peruntukan hasil pengelolaan dana jaminan sosial mempunyai arti keseluruhan hasil pengelolaan iuran peserta akan dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan peserta. Hal ini bukan tidak mungkin dilakukan BUMN perseroan, jika keempat BUMN perseroan diberikan tugas khusus menyelenggarakan jaminan sosial, maka laba yang diperoleh harus dipergunakan untuk membentuk dana cadangan. Kebijakan itu tidak perlu menunggu ketentuan BUMN Khusus dengan mengubah UU BUMN. Namun, cukup mengubah peruntukan laba sebagaimana diatur dalam anggaran dasar perseroan yang semula untuk dividen menjadi dana cadangan.

Memperhatikan penerapan prinsip-prinsip jaminan sosial nasional tersebut di atas, maka Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes sebagai BUMN perseroan dianggap telah memenuhi syarat atau layak menjadi pelaksana jaminan sosial. Bilamana semua pihak memahami ketentuan Pasal 52 Ayat (2), maka keempat BUMN tersebut diwajibkan menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip jaminan sosial, bukannya merger .
Pokok permasalah yang kedua adalah sumber pendanaan yang sebelumnya berasal dari APBN pada pos bantuan sosial akan berubah menjadi premi wajib yang dibayarkan oleh pemerintah. Konsep jaminan sosial yang diusung BPJS juga berbeda dengan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dana Jamkesmas disalurkan sesuai kuota yang ditetapkan, tidak kembali ke kas negara (bersifat habis pakai), dan terbatas pada kriteria masyarakat miskin. Sedangkan BPJS menggunakan sistem asuransi, sasarannya bagi seluruh warga negara Indonesia (universal coverage), bahkan dana akumulasinya dapat digunakan sebagai cadangan devisa negara.

Tahun 2007 adalah pertama kali pemerintah menggulirkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin secara terpadu dan nasional melalui ASKESKIN. Program ini dilaksanakan oleh PT.ASKES sebagai badan Penyelenggara. Namun ternyata pemerintah mengalami kendala terhadap kecukupan alokasi anggaran, sehingga di sana-sini ditemukan tunggakan ASKESKIN yang harus dibayar kepada Rumah Sakit selaku PPK (Penyelenggaran Pelayanan Kesehatan) mencapai miliaran bahkan puluhan miliar rupiah. Kondisi ini membuat rumah sakit-rumah sakit mengalami gangguan terhadap cash flow-nya yang berujung pada penghentian pelayananan atau tidak lagi melayani masyarakat miskin dan terjadilah penolakan-penolakan terhadap masyarakat miskin yang membutuhkan pengobatan.

Tahun 2008, pemerintah mengambil alih pelaksanaan program jaminan kesehatan ini dengan membentuk sebuah Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK) dibawah Sekretariat Jenderal Depkes RI. Program-nya dirubah dari ASKESIN menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS). Meskipun demikian, dalam melakukan verifikasi dan validasi Kepesertaan, maka pemerintah tetap mempercayakan kepada PT.ASKES dengan memanfaatkan data based kepesertaan Masyarakat Miskin penerima program ini. PT.ASKES menerbitkan kartu JAMKESMAS untuk sekitar 70,4 Juta jiwa yang terdata sebagai masyarakat miskin sesuai dengan pendataan oleh BPS Tahun 2007. Namun, lagi-lagi pemerintah merasa keteran dengan ketersediaan anggaran yang dibutuhkan sehingga timbul pemikiran untuk melakukan efeksifitas dan efisiensi melalui kendali biaya dan kendali mutu.

Baru pada Tahun 2009, pemerintah dengan menggunakan program yang masih sama yaitu JAMKESMAS dengan menerapkan Kendali Biaya dan Kendali Mutu menjalankan sistem pembiayan paket melalui sebuah software yang disebut Case Mix-INA DRG. Kepertaan tetap menjadi tanggungjawab PT.ASKES yang akan mengeluarkan Surat Jaminan Pembiayaan kepada RS selaku Penyelenggara Pelayanan Kesehatan. Verifikasi tetap dilaksanakan oleh Verifikator Independen. Program JAMKESMAS dengan Case Mix-INA DRG ini berjalan selama 2 tahun sampai dengan Tahun 2010. Tahun 2011, terdapat 3 kebijakan penting yaitu pembiayaan Case Mix-INA CBG, perluasan jaminan bagi penderita Thalasemia dan program Jampersal .

Dalam konsep Managed Care, sesungguhnya tidak ada yang murni “gratis”, semua harus membayar premi. Untuk PNS maka premi dibayarkan melalui pemotongan gaji setiap bulannya, untuk pegawai swasta maka premi dibayrkan bisa melalui potong gaji atau dibayarkan secara mandiri untuk jangka waktu dan periode tertentu. Untuk masyarakat kurang mampu, maka premi dibayarkan oleh pemerintah. Dan hal yang terakhir ini, bukan tidak mungkin akan menimbulkan peningkatan minat masyarakat untuk menjadi “miskin” agar pembayaran premi di tanggung oleh pemerintah.

Pokok permasalahan yang ketiga adalah sumber pendanaan yang berasal dari peserta PNS melalui iuran ASKES dan pegawai swasta melalui iuran jamsostek akan menjadi sumber dana subsidi silang bagi masyarakat miskin yang didanai oleh pemerintah. Berkaitan dengan masalah pembiayaan, timbul sebuah persepsi negatif dalam proses lahirnya UU BPJS ini yaitu adanya kecurigaan bahwa pemerintah akan melakukan subsidi silang dengan menarik dana dari para pekerja peserta JAMSOSTEK untuk membayarkan premi buat masyarakt miskin melalui JAMKESMAS. Kekhawatiran ini dirasakan oleh pihak yang Kontra terhadap UU BPJS ini. Sebagian besar yang khawatir dengan program ini adalah para pekerja swasta (pabrik) yang telah bertahun-tahun menjadi peserta JAMSOSTEK melalui program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Bisa dipahami kekhawatiran mereka karena premi mereka dibayar secara mandiri melalui potong gaji, sehingga bila benar pemerintah akan melakukan subsidi silang dengan dana dari para pekerja swasta guna mensubsidi premi bagi masyarakat miskin, maka hal ini akan mejadukan suatu kesenjangan bagi para pekerja dengan potongan gaji sementara UMR/UMK mereka masih jauh dibawah harapan untuk hidup layak dan berkecukupan.

Berdasarkan data bahwa alokasi APBN bagi kesehatan di Indonesia masih sangat kecil sekali, yaitu hanya 2,2 % dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini masih dibawah standar internasional yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu 5 % dari PDB. Tetapi masih terbuka kemungkinan pemerintah untuk membayar premi bagi pembiayaan jaminan kesehatan masyarkat miskin dengan menaikkan rasio alokasi anggaran kesehatan berdasarkan PDB sesuai dengan yang telah distandarkan oleh WHO yaitu 5 %. Sesungguhnya hal ini juga sejalan dengan amanat UU 36 Tahun 2009 tentang kesehatan bahwasanya pemerintah wajib menyediakan alokasi anggaran kesehatan sebesar minimal 10% dari APBN.

Pokok masalah yang terakhir adalah peningkatan kepersertaan jamkesmas yang signifikan pasca UU SJSN, mengingat pembayaran premi bagi masyarakat miskin yang akan di bayarkan oleh pemerintah. Jamkesmas sebenarnya telah berjalan sejak 2005 dengan nama asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin (askeskin). Namun, akhirnya pada 2008, program tersebut berganti nama menjadi jamkesmas. Peserta jamkesmas tidak harus dipusingkan dengan urusan birokrasi, cukup menunjukkan KTP masyarakat tidak mampu agar memperoleh pelayanan jamkesmas. Selama ini, ada sekitar 83 juta penduduk yang mengikuti program jamkesmas. Mereka adalah kelompok masyarakat tidak mampu, masuk kategori miskin absolut dan hampir miskin. Berdasarkan data statistik tahun 2002 jumlah pekerja di Indonesia ± 91 juta orang dengan rincian 28 juta pekerja formal yang sebagian besar dilindungi oleh Jamsostek, sedangkan sisanya sekitar 63 juta orang bekerja di sektor informal yang jelas-jelas tanpa jaminan kesehatan. Kemungkinan, masyararakat yang bekerja di sektor informal inilah yang akan meningkatkan kepesertaan jamkesmas.

Dampak kartu Jamkesmas lebih unggul dibandingkan dengan kartu Jamkesda, karena dampaknya sampai luar provinsi. Sementara jamkesda hanya berlaku di daerah saja dan jika dibawa ke provinsi lain belum tentu berlaku. Diharapkan agar peserta jamkesmas tidak salah data dan tepat sasaran. Jamkesmas ini sangat terjamin pelayanannya, karena yang mendapat jamkesmas sama seperti mendapatkan asuransi karena dibiayai oleh negara.

Pemerintah berencana memperbaharui data peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat . Meski data orang miskin dari BPS menurun, jumlah peserta Jamkesmas tidak akan dikurangi. Jumlah orang miskin menurut BPS berkurang 15,9 juta jiwa, menjadi 60,5 juta jiwa. Namun sasaran Jamkesmas yang akan datang tetap 76,4 juta jiwa, tidak termasuk yang sudah memiliki jaminan kesehatan lainnya. Pemenuhan selisih sebanyak 15,9 juta itu nantinya akan dikoordinasikan dengan pemerintah kabupaten dan kota, dengan mempertimbangkan berbagai hal. Di antaranya, pasien dengan penyakit kronis akan diprioritaskan masuk dalam pendataan tersebut. Perluasan sasaran penerima Jamkesmas sudah dilakukan sejak tahun 2010. Perluasan itu mencakup masyarakat miskin penghuni panti sosial, penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, serta korban bencana pasca tanggap darurat. Sementara dana yang telah disalurkan untuk program Jamkesmas mencapai Rp 2,8 triliun, dari Rp 4,1 triliun yang dianggarkan pada tahun 2010. Jumlah itu belum termasuk Rp 1 triliun untuk pelayanan dasar di Puskesmas .
Menghindari penyalahgunaan atau ketidaktepatan sasaran dengan membuat database dan distribusi ke seluruh peserta Jamkesmas. Pemerintah kota/kabupaten dilibatkan dengan mengajukan dan menetapkan jumlah sesuai kuota yang ada pada data BPS. Jika jumlah yang diajukan melebihi kuota, maka kelebihannya akan menjadi tanggungjawab pemkab/pemkot yang bersangkutan. Dengan mekanisme seperti ini diharapkan tidak ada lagi warga miskin yang tidak mendapatkan jamkesmas dan tidak bisa lagi kartu jatuh ke tangan yang tidak berhak .

C. Kesimpulan dan Saran

Sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU No.4 tahun 2001 tentang SJSN, Pemerintah beserta DPR telah mensyahkan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan social. Dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Badan Peny elenggara Jaminan Sosial, maka badan penyelenggara memiliki status sebagai badan hukum yang dibentuk dengan Undang- Undang, sehingga memberi kepastian hukum dalam menyelenggarakan program jaminan sosial.

Dengan demikian, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat melaksanakan prinsip-prinsip penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional sesuai dengan ketentuan Undang-Undang untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada peserta. Dalam UU BPJS ini, telah diatur bahwa pemerintah akan menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang terdiri dari Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua (Pensiun).

Pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial terus bergulir. Lahirnya RUU BPJS sudah pasti tidak terlepas dari Undang-Undang induknya yaitu UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial (SJSN) adalah perintah konstitusi. UUD 1945 mengharuskan adanya jaminan sosial untuk seluruh rakyat, bukan hanya untuk pegawai negeri.
Terlepas dari tujuan mulia dibentuknya UU BPJS, kita harus mencermati permasalahan yang mungkin timbul pasca pengesahan UU tersebut. Jangan sampai UU BPJS malah pada akhirnya akan membuat jaminan sosial akan membebani masyarakat sebagai peserta yang seharusnya mendapatkan haknya dengan jaminan yang tercantum dalam UU SJSN dan UU BPJS.

Ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk meminimalisir permasalahan yang timbul, diantaranya :

1. Meninjau ulang rencana penggabungan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan yang selama ini telah berjalan yaitu Jamsostek, Askes, Asabri dan Taspen. Disarankan badan penyelenggara terbagi dalam dua kelompok yaitu penyelengara berdasarkan kelompok masyarakat pekerja dan kelompok rakyat yaitu warga negara yang menjadi kewajiban pemerintah. Dengan ketentuan itu, apa pun bentuk badan hukum penyelenggara harus menjalankan prinsip-prinsip jaminan social sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU SJSN yaitu gotong royong, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, profitabilitas, kesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan kepentingan peserta.

2. Sumber pendanaan pemerintah harus dialokasikan dengan terencana dan proporsional. Konsep jaminan sosial yang diusung BPJS berbeda dengan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dana Jamkesmas disalurkan sesuai kuota yang ditetapkan, tidak kembali ke kas negara (bersifat habis pakai), dan terbatas pada kriteria masyarakat miskin. Sedangkan BPJS menggunakan sistem asuransi, sasarannya bagi seluruh warga negara Indonesia (universal coverage), bahkan dana akumulasinya dapat digunakan sebagai cadangan devisa negara.

3. Sumber pendanaan yang berasal dari peserta PNS dan pegawai swasta melalui iuran jamsostek tidak dijadikan sebagai sumber dana subsidi silang bagi masyarakat miskin. Pembiayaan bagi masyarakat miskin masih terbuka jika pemerintah membayar premi bagi pembiayaan jaminan kesehatan masyarkat miskin dengan menaikkan rasio alokasi anggaran kesehatan berdasarkan PDB sesuai dengan yang telah distandarkan oleh WHO yaitu 5 % dan sejalan dengan amanat UU 36 Tahun 2009 tentang kesehatan bahwasanya pemerintah wajib menyediakan alokasi anggaran kesehatan sebesar minimal 10% dari APBN.

4. Peningkatan kepersertaan Jamkesmas yang signifikan pasca disyahkannya UU SJSN dengan membuat database dan distribusi ke seluruh peserta Jamkesmas dan melibatkan pemerintah kota/kabupaten dengan mengajukan dan menetapkan jumlah sesuai kuota yang ada pada data BPS. Jika jumlah yang diajukan melebihi kuota, maka kelebihannya akan menjadi tanggungjawab pemkab/pemkot yang bersangkutan.

D. Daftar Bacaan

1.Ali Gufron, Sistem Jaminan Kesehatan, PT. KHM, Yogyakarta, 2008
2.Sembiring, Asuransi Jaminan Sosial, Nuansa Aulia, Bandung, 2006
3.http://www.detiknews, UU BPJS dan Tiket Ke surge, diakses 31/10/2011
4.http://bataviase.co.id,Jamsostek Protes, UU BPJS selesai tahun 2011, diakses 31/10/2001
5.http://kesehatan.kompasiana, Hani, Mohammad, Masa depan Jamkesmas , pasca terbitnya UU BPJS, diakses 31/10/2011
6.http://nasional.kompas.com,Jaminan social, diakses 31/10/2011
7.http://www.antaranews.com
8.http://www.jamsostek.co.id, Jamsostek, diaskes 31/101/2011
9.http://www.detikhealth.com, Jumlah peserta Jamkesmas tidak dikurangi, diakses tanggal 31/10/2011
10.RUU-BPJS, Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, diakses 31/10/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar