A.
PENDAHULUAN
Obat merupakan unsur yang sangat
penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. Sebagian besar intervensi medik
menggunakan obat, oleh karena itu obat tersedia pada saat diperlukan dalam
jenis dan jumlah yang cukup, berkhasiat nyata dan berkualitas baik. Biaya obat
dalam realitasnya merupakan bagian yang cukup besar dari biaya intervensi medis
secara keseluruhan. Obat generik menurut Permenkes No. . HK.02.02/MENKES/068/I/2010
adalah
obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan
dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang
dikandungnya.
Pemilihan obat yang aman, tepat
dan rasional akan mempengaruhi
proses
penyembuhan. Kurangnya pengetahuan
farmakologis
terutama untuk obat baru, bersamaan dengan sikap bebas dokter dalam memilih obat menimbulkan selera yang
berbeda. Selain itu adanya promosi obat yang terdorong oleh target penjualan
tertentu akan menimbulkan konsumsi berlebihan berupa penggunaan obat yang tidak
rasional dan merugikan pemakai obat.
Menteri Kesehatan mencanangkan revitalisasi penggunaan obat generik,
agar tercapai pemerataan dan keterjangkauan
obat. Fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah kini wajib menggunakan
obat generiK. Dengan revitalisasi itu diharapkan dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah wajib menulis dan memberi resep obat generik, dan jika
tidak dilaksanakan akan diberi sanksi.
Untuk
kebutuhan Puskesmas dan Unit Pelaksana Teknis (UPT), maka Dinas Kesehatan
(Dinkes) Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menyediakan obat esensial dengan
nama generik sesuai kebutuhan. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tanggal 14 Januari 2010. Dalam
Permenkes disebutkan, dokter (yang mencakup dokter, dokter gigi, dokter
spesialis dan dokter gigi spesialis) yang bertugas di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai
indikasi medis. Peraturan
ini terdiri dari 4 bab, dimana pada bab II pasal 4, ayat 1, tertulis bahwa
“Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis
resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis”.
Pelaksanaan peraturan tersebut dipantau secara berjenjang dan diatur dengan
Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.03.01/MENKES/159/I/2010 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Pemerintah. Sebagai bagian dari pembinaan, maka pelanggaran terhadap
kewajiban peresepan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan yang
berlaku.
Saat ini penyediaan obat generik
masih didominasi oleh apotik pelayanan kesehatan pemerintah, seperti di
Puskesmas dan rumah sakit, sedangkan apotik-apotik umum yang banyak tersebar di
masyarakat masih banyak yang tidak
menyediakan obat generic. Berdasarkan
survey kurang lebih 80 % apotek tidak menyediakan obat generik. Padahal Mentri Kesehatan sudah mengadakan
Seminar Revitalisasi Penggunaan Obat Generik di Sarana Pelayanan Pemerintah
dan meluncurkan 5 Langkah Strategis
Revitalisasi Penggunaan Obat Generik.
Ketua Majelis Kode Etik
Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia mengakui bahwa saat ini tidak semua
obat generik tersedia di apotek. Obat
generik yang ada di pasaran biasanya sudah ada, tetapi belum disediakan secara
lengkap.Hal itu terjadi karena belum semua dokter mau menuliskan resep obat
generik bagi pasiennya dan masyarakat pun belum sepenuhnya tahu tentang obat
generik. Selain itu promosi tentang penggunaan obat generic
belum dilakukan maksimal, sedangkan obat non-generik hamper 90% di promosikan
secara besar-besaran.
B. PROBLEM IDENTIFICATION
Pemerintah menegaskan, dokter yang
bertugas di fasilitas pelayanan pemerintah wajib menuliskan resep obat generik
bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Namun, kewajiban ini kerap tak
dipatuhi. Obat generik yang kualitasnya sudah teruji dan harganya murah sering
diabaikan. Kewajiban ini tertuang secara tegas dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 tentang
Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
Namun,
dalam pemantauan di sejumlah puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, kewajiban ini banyak dilanggar. Pasien kerap mendapatkan
resep obat bernama dagang dari dokter. Karena harganya jauh lebih mahal, dengan
sendirinya pasien dirugikan.
Dalam lima tahun terakhir, pasar
obat generik turun 10% ( Rp 2,5225 triliun ) dari tahun 2005 menjadi 7,2% ( Rp
2,372 triliun ) pada tahun 2009 . Pro dan
kontra mengenai obat generik selalu menjadi isu menarik di bidang kesehatan.
Tidak pernah diketahui siapa yang mendengungkan, tetapi sebagian masyarakat dan
bahkan dokter sudah terlanjur menganggap bahwa obat generik adalah obat untuk
orang miskin. Peresepan obat generik dianggap tidak bergengsi, murah, diragukan
kemanfaatannya, dan kandungan zat aktifnya di bawah standar.
Harga obat generik yang murah juga
tidak jarang dijadikan sebagai alasan untuk penolakan. perbedaan informasi
mengenai obat generik juga diperparah oleh kurang konsistennya pemerintah dalam
menerapkan kebijakan obat generik. Bahkan pada setiap pergantian kabinet isu
generik biasanya hanya terdengar sesaat. Berbagai kebijakan yang dituangkan
dalam SK Menkes seolah-olah tidak berdaya ketika berhadapan dengan realita di
lapangan.
Para dokter tetap meresepkan obat
merek dagang, duta-duta farmasi tetap berkeliaran menyodorkan obat produk
perusahaan, dan masyarakat lebih memilih untuk tidak diresepkan obat generik.
Kebijakan obat generik tampaknya akan selalu menemui jalan buntu juga upaya
yang sistematik dan komprehensif tidak dilaksanakan secara intens oleh berbagai
pemangku kepentingan. Obat generik hanya bertaring di puskesmas, tapi tidak
bergigi di pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, apalagi swasta.
Dengan
dalih harga yang terlalu murah, ketersediaan obat generik di banyak daerah juga
sering langka. Herannya, industri farmasi yang memproduksi obat generik yang
sama justru menyodorkan obat merek dagang produk mereka yang harganya 3 kali
lipat lebih mahal dari obat generik. Wajar, karena harga tersebut masih dalam
rentang yang dibolehkan untuk pengadaan obat di pelayanan kesehatan dasar.
Akibatnya, kabupaten yang anggaran
obatnya kecil hanya bisa membeli obat dalam jumlah sedikit. dampaknya,
sebagian puskesmas terpaksa memberikan
obat ke pasien tidak memenuhi dosis yang sebenarnya dikarenakan keterbatasan
obat yang disediakan atau bahkan meresepkan obat poaten dengan harga yang jauh
lebuh mahal. Hal ini tentu saja akan meningkatkan pembiayaan kesehatan,
sehingga menyulitkan masyarakat mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang
maksimal.
Apotik sebagai sarana pelayanan kefarmasian yang menyediakan obat-obatan
yang dibutuhkan masyarakat sekarang
banyak tersebar di berbagai tempat, tetapi masih banyak yang tidak menyediakan obat
generik. Permasalahan mengenai ketersediaan obat generik di apotek sebenarnya
bukan hal baru. Pada awal diluncurkannya obat generik, sekitar akhir tahun 80
an, pembuat kebijakan sudah memprediksi hal ini. Mereka memperhitungkan agar
obat generik yang berharga murah menarik secara bisnis, maka apotek sebagai
salah satu channel distribusi perlu mendapatkan insentif. Caranya, harga eceran
tertinggi obat generik yang ditetapkan Pemerintah melalui Kepmenkes No.
632/Menkes/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik tahun 2011, memungkinkan
apotek mendapatkan margin keutungan (dalam persentase) yang lebih tinggi
dibanding obat bermerek.
C. AGENDA SETTING
Ketersediaan obat generik dalam
jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan
keamanannya, perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah dan swasta. Agar penggunaan obat generik dapat berjalan
efektif perlu dilakukan evaluasi ketentuan
tentang Kewajiban Menuliskan resep
dan/atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah
dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.
HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban
Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Agar pengunaan obat generik di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dapat berjalan dengan efektif, perlu
dilakukan pengawasan dan pembinaan. Penyediaan obat generic perlu
diselenggarakan selain olah fasilitas apotik pemerintah jiga disediakan oleh
pasilitas apotik swasta yang banyak tersebar di masyarakat untuk meudahkan
akses masyarakat terhadap obat generik.
D.
POLICY FORMATION
1. Dasar
Peraturan
a.
UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
b.
UU No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi
c.
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
d.
UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
e.
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
f.
Kepmenkes No. 189 tahun 2006 tentang Kebijakan
Obat Nasional
g.
Kepmenkes No. 791 tahuh 2008 tentang Daftar
Obat Esensial Nasional
h.
Permenkes No.
HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban
Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah
i.
Permenkes No 284/Menkes/Per/III/2007 tentang Apotik Rakyat
j.
Kepmenkes No. 1027/menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan
kefarmasian di apotik
k.
Kepmenkes No. 632/Menkes/SK/III/2011 tentang harga ecerean tertinggi Obat
generic Tahun 2011
2. Strategi
Kebijakan
a.
Kewajiban seluruh apotik di pelayanan kesehatan
pemerintah, swasta dan apotik rakyat untuk menyediakan obat generik
b.
Pemantauan pelaksanaan penulisan resep obat generik
oleh dokter
c.
Pemantauan penyediaan obat generik di apotik pelayanan kesehatan pemerintah, pelayanan kesehatan swasta dan
apotik rakyat
d.
Pelaksanaan sanksi bagi yang melakuan pelanggaran
E.
ADOPTION
Acuan
pembuatan kebijakan ini adalah Kepmenkes
No.1027/menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di
apotik
F.
IMPLEMENTASI
Pemerintah
harus memperketat pengawasan setelah
adanya penetapan kewajiban dokter untuk membuat resep obat generik di fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah. Pemerintah harus lebih memperketat sistem pengawasan dan
pemberian sanksi bagi pelanggar aturan ini.
Penyediaan
obat generik di fasilitas kesehatan berdasarkan formularium yang disusun oleh fasilitas pelayanan
kesehatan yang mengacu pada daftar Obat Esensial Nasional. Pembinaan dilakukan
oleh organisasi profesi (IDI) sedangkan pengawasan dan pemantauan penyediaan
obat generik dilakukan oleh instalasi farmasi Rumah Sakit atau Kota/Kabupaten.
Pemerintah memfasilitasi penyediaan obat generic di
apotik pelayanan kesehatan swasta dan apotik rakyat dilakukan oleh instalasi
farmasi Kota/Kabupaten. Jaringan
apotek yang tumbuh dengan cepat mempunyai misi untuk menyediakan obat generik
yang berkualitas dengan harga terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia Fokusnya
pada obat generik sebagai produk alternatif atas produk bermerek dengan harga
yang terjangkau. Apotek penyedia obat generic harus didukung oleh pemerintah sehingga akan
menyediakan produk generik yang berkualitas dan harga terjangkau bagi masyarakat. Apotek harus menjamin kualitas yang konsisten atas produk
yang ditawarkan pada konsumen dan hanya menjual produk yang telah disetujui
BPPOM. Pemerintah harus
lebih memperketat sistem pengawasan dan pemberian sanksi bagi pelanggar
aturan ini.
Pemerintah juga menetapkan
biaya distribusi kepada pedagang besar farmasi dan menetapkan harga eceran obat
generik untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat generik di seluruh
daerah. Sebelumnya, pedagang besar farmasi dalam menyalurkan obat generik
kepada pemerintah, rumah sakit, apotek, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya
tidak menggunakan biaya distribusi. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor HK.03.01 /Menkes/146/V2010 tertanggal 27 Januari 2010 tentang Harga Obat
Generik, ditetapkan biaya distribusi.
Dalam
keputusan menteri tersebut, pemerintah juga menetapkan harga eceran tertinggi,
yakni harga jual obat generik di apotek, rumah sakit, dan sarana pelayanan
kesehatan lain. Pemerintah juga harus mengawasi penggunaan obat generik di
rumah sakit maupun sarana kesehatan lainnya, harus dipastikan ketersediaan obat
generic
G. EVALUATION
Kementerian
Kesehatan menargetkan 80-90 persen resep dari dokter di rumah sakit umum
pemerintah atau puskesmas berisi obat generik pada 2014. Menurut Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Kemenkes, saat ini baru sekitar 65-68 persen resep yang menuliskan obat generik
bagi pasien. Padahal penulisan obat generik menjadi wajib lewat Peraturan
Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan
Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah di mana dokter di
Puskesmas dan RS pemerintah wajib meresepkan obat generik baik untuk diambil di
sarana pelayanan kesehatan maupun di luar.
Fasilitas apotik di
pelayanan kesehatan pemerintah, swasta dan apotik rakyat secara keseluruhan
harus menyediakan dan menjamin ketersediaan obat generic untuk masyarakat yang
membutuhkannya. Dalam peraturan tersebut, apoteker juga diberi kewenangan untuk
mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya, dengan persetujuan dokter dan/atau pasien. Sebenarnya penulisan resep
obat generik oleh dokter cukup tinggi pada awal diberlakukan aturan tersebut
yakni sekitar 60 persen namun peningkatannya yang lambat, hanya sekitar 2-3
persen tiap bulan, menyebabkan belum tercapainya kondisi yang diharapkan.
Salah satu hambatan adalah
masyarakat masih meragukan kualitas obat generik padahal kualitasnya tidak
kalah bagus dan produk tersebut mendapatkan pengawasan ketat pemerintah lewat
Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Ada kesalahan persepsi di masyarakat mengenai obat
generik yang dianggap karena murah maka tidak akan bisa memberikan khasiat yang
setara dengan obat yang mahal. Selain itu masih ada sebagian dokter yang tidak
bersedia dibatasi dalam pembuatan resep dengan obat-obatan yang telah disusun
berdasarkan formularium pelayanan kesehatan.
Dalam pelaksanaan di lapangan, banyak obat-obat generik yang tidak
tersedia untuk kasus-kasus tertentu, sehingga mengharuskan dokter membuat resep obat paten. Permasalahan
lain adalah dokter dan rumah sakit
bekerja sama dengan pedagang farmasi dalam menjual obat paten. Pedagang farmasi
menetapkan target penjualan, sehingga dokter memberi resep obat paten kepada
pasien meski obat generik tersedia.
admin share dong kalau ada data empiris tentang presepsi masyarakat dg obat generik
BalasHapus