Sabtu, 17 Desember 2011

ANALISIS PERLUNYA KEBIJAKAN TENTANG KEWAJIBAN APOTIK MENYEDIAKAN OBAT GENERIK



A.     PENDAHULUAN
Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan kesehatan. Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat, oleh karena itu obat tersedia pada saat diperlukan dalam jenis dan jumlah yang cukup, berkhasiat nyata dan berkualitas baik. Biaya obat dalam realitasnya merupakan bagian yang cukup besar dari biaya intervensi medis secara keseluruhan. Obat generik menurut Permenkes No. . HK.02.02/MENKES/068/I/2010 adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.
Pemilihan obat yang aman, tepat dan rasional akan mempengaruhi proses penyembuhan. Kurangnya pengetahuan farmakologis terutama untuk obat baru, bersamaan dengan sikap bebas dokter dalam memilih obat menimbulkan selera yang berbeda. Selain itu adanya promosi obat yang terdorong oleh target penjualan tertentu akan menimbulkan konsumsi berlebihan berupa penggunaan obat yang tidak  rasional dan merugikan pemakai obat.
Menteri Kesehatan mencanangkan revitalisasi penggunaan obat generik, agar tercapai pemerataan dan  keterjangkauan obat. Fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah kini wajib menggunakan obat generiK. Dengan revitalisasi itu diharapkan dokter di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis dan memberi resep obat generik, dan jika tidak dilaksanakan akan diberi sanksi.
Untuk kebutuhan Puskesmas dan Unit Pelaksana Teknis (UPT), maka Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menyediakan obat esensial dengan nama generik sesuai kebutuhan. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tanggal 14 Januari 2010. Dalam Permenkes disebutkan, dokter (yang mencakup dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis) yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Peraturan ini terdiri dari 4 bab, dimana pada bab II pasal 4, ayat 1, tertulis bahwa “Dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah wajib menulis resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis”.
Pelaksanaan peraturan tersebut dipantau secara berjenjang dan diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.03.01/MENKES/159/I/2010 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penggunaan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Sebagai bagian dari pembinaan, maka pelanggaran terhadap kewajiban peresepan dapat dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku.
Saat ini penyediaan obat generik masih didominasi oleh apotik pelayanan kesehatan pemerintah, seperti di Puskesmas dan rumah sakit, sedangkan apotik-apotik umum yang banyak tersebar di masyarakat  masih banyak yang tidak menyediakan obat generic. Berdasarkan survey kurang lebih 80 % apotek tidak menyediakan obat generik. Padahal Mentri Kesehatan sudah mengadakan Seminar Revitalisasi Penggunaan Obat Generik di Sarana Pelayanan Pemerintah dan  meluncurkan 5 Langkah Strategis Revitalisasi Penggunaan Obat Generik.
Ketua Majelis Kode Etik Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia mengakui bahwa saat ini tidak semua obat generik tersedia di apotek. Obat generik yang ada di pasaran biasanya sudah ada, tetapi belum disediakan secara lengkap.Hal itu terjadi karena belum semua dokter mau menuliskan resep obat generik bagi pasiennya dan masyarakat pun belum sepenuhnya tahu tentang obat generik. Selain itu promosi tentang penggunaan obat generic belum dilakukan maksimal, sedangkan obat non-generik hamper 90% di promosikan secara besar-besaran.

B.     PROBLEM IDENTIFICATION
Pemerintah menegaskan, dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan pemerintah wajib menuliskan resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Namun, kewajiban ini kerap tak dipatuhi. Obat generik yang kualitasnya sudah teruji dan harganya murah sering diabaikan. Kewajiban ini tertuang secara tegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/Menkes /068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
     Namun, dalam pemantauan di sejumlah puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kewajiban ini banyak dilanggar. Pasien kerap mendapatkan resep obat bernama dagang dari dokter. Karena harganya jauh lebih mahal, dengan sendirinya pasien dirugikan.
Dalam lima tahun terakhir, pasar obat generik turun 10% ( Rp 2,5225 triliun ) dari tahun 2005 menjadi 7,2% ( Rp 2,372 triliun ) pada tahun 2009 . Pro dan kontra mengenai obat generik selalu menjadi isu menarik di bidang kesehatan. Tidak pernah diketahui siapa yang mendengungkan, tetapi sebagian masyarakat dan bahkan dokter sudah terlanjur menganggap bahwa obat generik adalah obat untuk orang miskin. Peresepan obat generik dianggap tidak bergengsi, murah, diragukan kemanfaatannya, dan kandungan zat aktifnya di bawah standar.
Harga obat generik yang murah juga tidak jarang dijadikan sebagai alasan untuk penolakan. perbedaan informasi mengenai obat generik juga diperparah oleh kurang konsistennya pemerintah dalam menerapkan kebijakan obat generik. Bahkan pada setiap pergantian kabinet isu generik biasanya hanya terdengar sesaat. Berbagai kebijakan yang dituangkan dalam SK Menkes seolah-olah tidak berdaya ketika berhadapan dengan realita di lapangan.
Para dokter tetap meresepkan obat merek dagang, duta-duta farmasi tetap berkeliaran menyodorkan obat produk perusahaan, dan masyarakat lebih memilih untuk tidak diresepkan obat generik. Kebijakan obat generik tampaknya akan selalu menemui jalan buntu juga upaya yang sistematik dan komprehensif tidak dilaksanakan secara intens oleh berbagai pemangku kepentingan. Obat generik hanya bertaring di puskesmas, tapi tidak bergigi di pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, apalagi swasta.
     Dengan dalih harga yang terlalu murah, ketersediaan obat generik di banyak daerah juga sering langka. Herannya, industri farmasi yang memproduksi obat generik yang sama justru menyodorkan obat merek dagang produk mereka yang harganya 3 kali lipat lebih mahal dari obat generik. Wajar, karena harga tersebut masih dalam rentang yang dibolehkan untuk pengadaan obat di pelayanan kesehatan dasar.
Akibatnya, kabupaten yang anggaran obatnya kecil hanya bisa membeli obat dalam jumlah sedikit. dampaknya, sebagian  puskesmas terpaksa memberikan obat ke pasien tidak memenuhi dosis yang sebenarnya dikarenakan keterbatasan obat yang disediakan atau bahkan meresepkan obat poaten dengan harga yang jauh lebuh mahal. Hal ini tentu saja akan meningkatkan pembiayaan kesehatan, sehingga menyulitkan masyarakat mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang maksimal.
Apotik sebagai sarana pelayanan kefarmasian yang menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan masyarakat sekarang  banyak tersebar di berbagai tempat, tetapi  masih banyak yang tidak menyediakan obat generik. Permasalahan mengenai ketersediaan obat generik di apotek sebenarnya bukan hal baru. Pada awal diluncurkannya obat generik, sekitar akhir tahun 80 an, pembuat kebijakan sudah memprediksi hal ini. Mereka memperhitungkan agar obat generik yang berharga murah menarik secara bisnis, maka apotek sebagai salah satu channel distribusi perlu mendapatkan insentif. Caranya, harga eceran tertinggi obat generik yang ditetapkan Pemerintah melalui Kepmenkes No. 632/Menkes/SK/III/2011 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik tahun 2011, memungkinkan apotek mendapatkan margin keutungan (dalam persentase) yang lebih tinggi dibanding obat bermerek.

C.     AGENDA SETTING
Ketersediaan obat generik dalam jumlah dan jenis yang cukup, terjangkau oleh masyarakat serta terjamin mutu dan keamanannya, perlu digerakkan dan didorong penggunaannya di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta. Agar penggunaan obat generik dapat berjalan efektif perlu  dilakukan evaluasi ketentuan  tentang Kewajiban Menuliskan resep dan/atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Agar pengunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dapat berjalan dengan efektif, perlu dilakukan pengawasan dan pembinaan. Penyediaan obat generic perlu diselenggarakan selain olah fasilitas apotik pemerintah jiga disediakan oleh pasilitas apotik swasta yang banyak tersebar di masyarakat untuk meudahkan akses masyarakat terhadap obat generik.

D.     POLICY FORMATION
1.    Dasar Peraturan
a.    UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
b.    UU No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi
c.    UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
d.    UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
e.    UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
f.     Kepmenkes No. 189 tahun 2006 tentang Kebijakan Obat Nasional
g.    Kepmenkes No. 791 tahuh 2008 tentang Daftar Obat Esensial Nasional
h.    Permenkes No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah
i.      Permenkes No 284/Menkes/Per/III/2007 tentang Apotik Rakyat
j.      Kepmenkes No. 1027/menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotik
k.    Kepmenkes No. 632/Menkes/SK/III/2011 tentang harga ecerean tertinggi Obat generic Tahun 2011
2.    Strategi Kebijakan
a.    Kewajiban seluruh apotik di pelayanan kesehatan pemerintah, swasta dan apotik rakyat untuk menyediakan obat generik
b.    Pemantauan pelaksanaan penulisan resep obat generik oleh dokter
c.    Pemantauan penyediaan obat generik di apotik pelayanan kesehatan pemerintah, pelayanan kesehatan swasta dan apotik rakyat
d.    Pelaksanaan sanksi bagi yang melakuan pelanggaran

E.     ADOPTION
Acuan pembuatan kebijakan ini adalah Kepmenkes                                No.1027/menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotik

F.     IMPLEMENTASI
Pemerintah  harus memperketat pengawasan setelah adanya penetapan kewajiban dokter untuk membuat resep obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Pemerintah harus  lebih memperketat sistem pengawasan dan pemberian sanksi bagi pelanggar aturan ini.
Penyediaan obat generik di fasilitas kesehatan berdasarkan formularium  yang disusun oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang mengacu pada daftar Obat Esensial Nasional. Pembinaan dilakukan oleh organisasi profesi (IDI) sedangkan pengawasan dan pemantauan penyediaan obat generik dilakukan oleh instalasi farmasi Rumah Sakit atau Kota/Kabupaten.
Pemerintah memfasilitasi penyediaan obat generic di apotik pelayanan kesehatan swasta dan apotik rakyat dilakukan oleh instalasi farmasi Kota/Kabupaten. Jaringan apotek yang tumbuh dengan cepat mempunyai misi untuk menyediakan obat generik yang berkualitas dengan harga terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia Fokusnya pada obat generik sebagai produk alternatif atas produk bermerek dengan harga yang terjangkau. Apotek penyedia obat generic harus  didukung oleh pemerintah sehingga akan menyediakan produk generik yang berkualitas dan harga terjangkau bagi  masyarakat. Apotek harus  menjamin kualitas yang konsisten atas produk yang ditawarkan pada konsumen dan hanya menjual produk yang telah disetujui BPPOM. Pemerintah harus  lebih memperketat sistem pengawasan dan pemberian sanksi bagi pelanggar aturan ini.
Pemerintah  juga menetapkan biaya distribusi kepada pedagang besar farmasi dan menetapkan harga eceran obat generik untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat generik di seluruh daerah. Sebelumnya, pedagang besar farmasi dalam menyalurkan obat generik kepada pemerintah, rumah sakit, apotek, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya tidak menggunakan biaya distribusi. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.03.01 /Menkes/146/V2010 tertanggal 27 Januari 2010 tentang Harga Obat Generik, ditetapkan biaya distribusi.
Dalam keputusan menteri tersebut, pemerintah juga menetapkan harga eceran tertinggi, yakni harga jual obat generik di apotek, rumah sakit, dan sarana pelayanan kesehatan lain. Pemerintah juga harus mengawasi penggunaan obat generik di rumah sakit maupun sarana kesehatan lainnya, harus dipastikan ketersediaan obat generic

G.    EVALUATION
Kementerian Kesehatan menargetkan 80-90 persen resep dari dokter di rumah sakit umum pemerintah atau puskesmas berisi obat generik pada 2014. Menurut Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kemenkes, saat ini baru sekitar 65-68 persen resep yang menuliskan obat generik bagi pasien. Padahal penulisan obat generik menjadi wajib lewat Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah di mana dokter di Puskesmas dan RS pemerintah wajib meresepkan obat generik baik untuk diambil di sarana pelayanan kesehatan maupun di luar.
Fasilitas apotik di pelayanan kesehatan pemerintah, swasta dan apotik rakyat secara keseluruhan harus menyediakan dan menjamin ketersediaan obat generic untuk masyarakat yang membutuhkannya. Dalam peraturan tersebut, apoteker juga diberi kewenangan untuk mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen aktifnya, dengan persetujuan dokter dan/atau pasien. Sebenarnya penulisan resep obat generik oleh dokter cukup tinggi pada awal diberlakukan aturan tersebut yakni sekitar 60 persen namun peningkatannya yang lambat, hanya sekitar 2-3 persen tiap bulan, menyebabkan belum tercapainya kondisi yang diharapkan.
Salah satu hambatan adalah masyarakat masih meragukan kualitas obat generik padahal kualitasnya tidak kalah bagus dan produk tersebut mendapatkan pengawasan ketat pemerintah lewat Badan Pengawasan Obat dan Makanan.  Ada kesalahan persepsi di masyarakat mengenai obat generik yang dianggap karena murah maka tidak akan bisa memberikan khasiat yang setara dengan obat yang mahal. Selain itu masih ada sebagian dokter yang tidak bersedia dibatasi dalam pembuatan resep dengan obat-obatan yang telah disusun berdasarkan formularium pelayanan kesehatan.  Dalam pelaksanaan di lapangan, banyak obat-obat generik yang tidak tersedia untuk kasus-kasus tertentu, sehingga mengharuskan  dokter membuat resep obat paten. Permasalahan lain  adalah dokter dan rumah sakit bekerja sama dengan pedagang farmasi dalam menjual obat paten. Pedagang farmasi menetapkan target penjualan, sehingga dokter memberi resep obat paten kepada pasien meski obat generik tersedia.

1 komentar:

  1. admin share dong kalau ada data empiris tentang presepsi masyarakat dg obat generik

    BalasHapus