A.
Latar Belakang
Aborsi merupakan
bagian yang paling kontroversial dari
masalah kesehatan reproduksi. Salah satu alasan utama aborsi adalah kehamilan
yang tidak direncanakan. Dalam kesepakatan Kairo menyatakan bahwa pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan harus diprioritaskan untuk melenyapkan kebutuhan aborsi dengan
memfasilitasi perempuan terhadap akses informasi, konseling, pelayanan
komplikasi akibat aborsi.
Kehamilan yang
tidak direncanakan dan tidak diinginkan akan terus terjadi di seluruh dunia,
sekalipun sudah menggunakan alat kontrasepsi. Menurut WHO penyebabnya antara
lain karena kegagalan alat kontrasepsi itu sendiri,kesalahan
pemakaian,konseling kontrasepsi yang tidak kuat, kekerasan termasuk perkosaan,
usia terlalu muda, belum menikah, terlalu banyak anak dan hubungan yang
bermasalah dengan pasangan. Diperkirakan
dari 210 juta kehamilan di dunia per-tahun-nya, 4 dari 10 diantaranya merupakan
kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Lebih dari setengah dari KTD tersebut
berakhir dengan aborsi dengan estimasi sekitar 50 juta aborsi di seluruh dunia
setiap tahunnya [1].
Kematian seorang ibu yang melakukan aborsi
di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan SDKI Tahun 2007 Angka Kematian Ibu
sebesar 228/100.000[2].
Sebanyak 11-17 % bahkan mencapai 50% diakibatkan karena praktek aborsi yang tidak
aman. Penetilian yang dilakukan Council menunjukkan kurang lebih 2 juta aborsi
dilakukan tiap tahunnya[3].
Penelitian YKP pada tahun 2002 membuktikan 87% perempuan yang hendak melakukan
aborsi masih terikat dalam perkawinan dan setidaknya sudah memiliki 2 anak. Umumnya akibat kegagalan KB (36%) dan
alasan ketidaksiapan untuk hamil karena tekanan psikis dan sosial (57,5%)
seperti sudah punya banyak anak, anak terakhir masih kecil, tuntutan kerja dsb.
Fakta di atas
menunjukkan bahwa kehamilan tidak diinginkan tidak saja dapat menimpa perempuan lajang
akibat kekerasan seksual seperti perkosaan, incest, ingkar janji, korban
traffiking dsb, tetapi juga dapat terjadi pada perempuan yang terikat dalam
hubungan perkawinan. Masih menurut YKP, dari 75 juta kehamilan tidak diinginkan
di dunia, 50 juta di antaranya berakhir dengan aborsi; 20 juta di antaranya
dilakukan secara tidak aman.
Fakta tingginya
kematian ibu merupakan ironi. Perempuan sebagai pejuang kehidupan harus
berhadapan dengan resiko kematian ketika seorang perempuan merelakan tubuhnya
menjalani fungsi reproduksi. Kematian ibu dianggap sebagai hal biasa yang harus
ditanggung sebagai konsekuensi menjadi seorang perempuan. Sekalipun rahim ada
dalam tubuh perempuan, pada kenyataannya perempuan yang mengalami kehamilan
tidak diinginkan tidak berdaya bahkan tidak diberdayakan untuk dapat menentukan
apakah kehamilan itu akan dihentikan atau dilanjutkan[4].
Perempuan memiliki risiko kesehatan lebih
besar karena kurangnya kepedulian dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan yang berhubungan dengan seksualitas dan reproduksi. Aborsi tidak aman
membahayakan hidup perempuan, mewakili masalah kesehatan masyarakat yang
serius, banyak menimpa remaja yang berisiko paling tinggi. Banyaknya perempuan
yang melakukan praktek aborsi yang tidak aman karena masyarakat masih memandang
persoalan aborsi sebagai peroalan moralitas dan kriminalitas semata. Bagaimanapun,
isu hak dan kesehatan reproduksi perempuan yang digembar-gemborkan selam ini
harus diseimbangkan dengan peningkatan kualitas kesehatan perempuan.
Dalam hal ini, maka untuk menurunkan angka
kematian ibu ataupun calon ibu, maka aborsi harus dilakukan dengan aman. Aturan
dengan standar layanan aborsi yang aman akan mengurangi praktik aborsi ilegal
selama ini. Dan tentunya layanan aborsi dengan tenaga kesehatan yang terlatih,
fasilitas yang mendukung dan memenuhi syarat serta pendampingan konseling,
semuanya itu harus dipenuhi dalam aturan yang baru. Di Indonesia penyediaan pelayanan aborsi aman
masih sangat terbatas dan relatif mahal sehingga muncul desakan dari beberapa
LSM kepada pemerintah untuk menyediakan
sarana pelayanan aborsi yang aman untuk menekan tingkat kematian ibu akibat
praktik aborsi tidak aman yang hingga kini masih tinggi[5].
Sebagai
konsekuensi dari hak seorang perempuan “tidak/belum ingin mempunyai anak”,
pemerintah perlu memberikan informasi, pendidikan serta pelayanan pencegahan
kehamilan dan pada kondisi tertentu memberikan pelayanan aborsi yang aman.
B. Permasalahan
Frekuensi kehamilan tidak diinginkan yang
tinggi dipastikan akan meningkatkan
kebutuhan jasa pelayanan abortus. Semakin ketat larangan abortus, semakin besar
risiko pertolongan aborsi yang tidak aman, sebagai akibat larangan terhadap
abortus akan membuat fasilitas pelayanan aborsi profesional yang berkualitas
menjadi langka dan mahal. Akibatnya, pilihan akan jatuh pada jasa pelayanan
abortus yang tidak aman yang diberikan oleh tenaga yang tidak terampil dan
tidak terlatih. Para ibu yang kebingungan itu akan nekad memilih pelayan aborsi
yang tidak aman dan mengancam keselamatan ketimbang membesarkan janin yang
mereka kandung. Mereka tidak menghiraukan risiko komplikasi, cacad, dan
kematian yang mungkin ditimbulkan oleh pilihan yang keliru itu. Pelayanan
abortus yang mereka pilih itu akan mengantarkan mereka pada risiko kematian 100
sampai 500 kali lebih besar. Di Indonesia, masalah ini sangat penting karena
menyangkut keselamatan dan kelangsungan hidup para ibu usia produktif yang
menjadi pengayom utama keluarga[6].
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk
menganalisa tentang upaya pemerintah untuk meningkatan kesehatan reproduksi
perempuan dengan menekan angka kematian ibu yang diakibatkan karena aborsi yang
tidak aman dengan pemberian informasi, pendidikan, pelayanan pencegahan
kehamilan dan penyediaan pelayanan
aborsi yang aman.
C. Pembahasan
Secara umum, abortus didefinisikan sebagai
upaya terminasi kehamilan yang dilakukan sebelum janin mampu hidup di luar
kandungan. Menurut WHO, aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) adalah aborsi yang dilakukan dengan menggunakan
metode yang berisiko tinggi, bahkan fatal, dilakukan oleh orang yang tidak
terlatih atau tidak terampil serta komplikasinya merupakan penyebab langsung
kematian wanita usia reproduksi.
Dengan demikian, ada tiga kriteria aborsi
yang tidak aman, yaitu metode berisiko tinggi, dilakukan oleh orang yang tidak terlatih
dan komplikasinya merupakan penyebab langsung kematian ibu[7].
Metode aborsi risiko tinggi yang dimaksud antara lain meliputi penggunaan obat
atau jamu, pemijitan, memasukkan alat atau benda asing ke dalam rongga vagina.
Peralatan yang digunakan biasanya terkontaminasi oleh mikroorganisme dan
bahan-bahan kausatif atau iritatif sehingga meskipun pasien dapat diselamatkan
dari kematian, dia masih tetap terancam untuk mengalami cacad menetap atau
gangguan organ yang serius. Sementara, bahan-bahan tradisional yang sering
digunakan antara lain plastik, batang kayu, akar pohon, atau tangkai daun yang
mempunyai getah iritatif[8].
Komplikasi dini dan yang paling sering
adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, yang sebagian
atau seluruh produk pembuahan masih tersisa di dalam rahim. Sepsis merupakan
salah satu komplikasi aborsi yang paling fatal. Infeksi yang paling serius yang
jarang ditemukan adalah infeksi bakteri anaerub yang menyebabkan gasgangrin dan
tetanus. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh penggunaan peralatan yang tidak
bersih. Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan.
Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera organ
panggul atau usus. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah
atau fasilitas transfusi rumah sakit. Komplikasi abortus lain yang secara
potensial fatal adalah bendungan sistem pembuluh darah oleh bekuan darah,
gelembung udara, atau cairan. Yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah
gangguan bekuan darah berat yang disebabkan oleh infeksi berat serta keracunan
obat-obat abortif yang menyebabkan gagal ginjal.
Meski aborsi dilarang oleh hukum, tetapi kenyataannya
terdapat 2,3 juta perempuan melakukan aborsi[9].
Masalahnya tiap perempuan mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan aborsi
dan hukum pun terlihat tidak akomodatif terhadap alasan-alasan tersebut,
misalnya dalam masalah kehamilan paksa akibat perkosaan atau bentuk kekerasan
lain termasuk kegagalan KB. Larangan aborsi berakibat pada banyaknya terjadi aborsi
tidak aman (unsafe abortion), yang
mengakibatkan kematian. Data WHO menyebutkan, 15-50% kematian ibu disebabkan
oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan
tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan meninggal
dunia. Artinya 1 dari 8 ibu meninggal akibat aborsi yang tidak aman.
Aborsi yang tidak aman biasanya terjadi setelah
kehamilan yang tidak diinginkan dengan berbagai sebab. Sampai saat ini belum
ada solusi yang tuntas untuk melegalkan aborsi yang aman, kecuali yang
diwajibkan karena indikasi medis. Padahal dari berbagai penelitian menunjukkan
bahwa penyebab aborsi sering disebabkan karena factor non-medis[10].
Banyaknya kematian akibat aborsi yang tidak aman,
tentu sangat memprihatinkan. Hal ini diakibatkan kurangnya kesadaran dari
perempuan dan masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan. Padahal
bagaimanapun kondisinya atau akibat apapun, setiap perempuan sebagai
warganegara tetap memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai
dan kewajiban negaralah untuk menyediakan hal itu. Hak-hak ini harus dipandang
sebagai hak-hak sosial sekaligus hak individu yang merupakan hak untuk
mendapatkan keadilan sosial termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan
pelayanan. Hak atas pelayanan kesehatan ini ditegaskan pula dalam Pasal 12
Konvensi Penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (Konvensi
Perempuan) dan UU Kesehatan No 36 Tahun 2009.
Dalam hal Hak Reproduksi, termasuk pula didalamnya hak
untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi,
paksaan dan kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi
manusia (Rekomendasi bab 7 Konferensi Kependudukan dan Pembangunan
Internasional di Kairo 1994). Adalah hak bagi setiap pasangan atau individu
untuk menetapkan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah anak, kelahiran anak
dan kapan ia ingin atau tidak ingin mempunyai anak[11].
Hukum yang ada di
Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindak aborsi
tak aman oleh tenaga tak terlatih. Ada 3 aturan aborsi di Indonesia yang
berlaku hingga saat ini yaitu:
1.
Undang-Undang RI
No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan
melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan. KUHP melarang keras dilakukannya aborsi
dengan alasan apapun sebagaimana diatur pasal 283, 299 serta pasal 346-349.
Pasal 299 menyatakan ancaman pidana maksimal 4 tahun pada seseorang yang
memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan[12].
- Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menuliskan bahwa aborsi dapat dilakukan berdasarkan
indikasi medis yang terdeteksi secra dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan atau janin, mencerita cacat genetik dan atau bawaan, dan
keadaan yang menyulitkan bayi untuk hidup di luar kandungan. Selain itu
kehamilan yang diakibatkan karena perkosaan sehingga menimbulkan trauma
psikologis bagi korban. Dalam UU ini juga disebutkan bahwa pemerintah wajib
melindungi dan mencegah aborsi yang
tidak aman, tidak bermutu dan tidak
bertanggungjawab dengan alasan tersebut diatas. Aborsi
sebagaimana dimaksud diatas hanya dapat
dilakukan denga persyaratan:
a.
Sebelum kehamilan
berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam
hal kedaruratan medis
b.
Oleh tenaga kesehatan
yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang
ditetapkan oleh menteri
c.
Dengan persetujuan ibu
hamil yang bersangkutan
d.
Dengan izin suami,
kecuali korban perkosaan
e.
Penyedia layanan
kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Sebagai pelaksanaan dijabarkan antara lain mengenai keadaan
darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian & kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang
ditunjuk[13].
3.
Undang Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap anak sejak dalam
kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf
kehidupannya. Hal ini menjelaskan bahwa HAM jelas menentang aborsi sekalipun itu
berkaitan dengan hak hidup[14].
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT
mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. Dalam UU ini memang tidak disebutkan secara tegas apa
yang dimaksud dengan ‘pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis’,
namun apabila dikaitkan dengan kekerasan seksual yang berefek pada
kehamilan yang tidak diinginkan, maka korban diasumsikan dapat meminta hak
atas pelayanan medis untuk mengakhiri kehamilannya, karena secara medis,
korban akan mengalami stres ataupun depresi, & bukan tidak mungkin
akan menjadi sakit jiwa apabila kehamilan tersebut diteruskan[15].
Namun keberadaan peraturan di atas justru dianggap
menimbulkan kerugian, karena aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal,
padahal aborsi bisa dilakukan secara aman (safe abortion). UU
Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi yang salah
sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang dihukum.
Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu), dan yang
membantu mendapatkan pelayanan, dinyatakan bersalah. Dan akibat aborsi dilarang, angka kematian
dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu akan mencari pelayanan
pada tenaga tak terlatih.
Oleh karena itu, hingga kini AKI Indonesia
(228 per 100.000 kh tahun 2007) masih menduduki urutan teratas di Asia
Tenggara,dan kontribusi aborsi dilihat sebagai salah satu faktor tingginya
angka tersebut. Aborsi sendiri masih tetap merupakan suatu wacana yang selalu
mengundang pro dan kontra baik hukum maupun agama yang mungkin tidak akan habis
jika tidak ada peraturan baru tentang aborsi aman khususnya yang tegas dan
jelas.
Pemberian pelayanan penanganan aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan sering
mendapatkan hambatan atau kendala dari UU, maupun KUHAP yang terkait dan
tekanan sosial. Perkumpulan Keluagra Berencana Indonesia berupaya untuk
memberikan pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan secara
komprehensif dan berkualitas seperti konseling pra dan pasca penanganan, tindakan
penanganan dengan metode mutakhir yang aman, pemberian kontrasepsi
pascatindakan, pelayanan komplikasi dan membangun sistim rujukan pelayanan
kesehatan reproduksi yang diperlukan masyarakat.
Upaya yang dilakukan diatas termasuk pencatatan data/profil klien,
pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan yang meliputi
metode/fasilitas/ketrampilan provider, digunakan untuk melakukan advokasi ke
parlemen dan pemerintah agar UU atau KUHP yang menghalangi perempuan dapat
mengakses pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan yang ada pada masyarakat[16].
D. Kesimpulan
dan Saran
Aborsi merupakan bagian dari hak reproduksi dan
kesehatan reproduksi yang harus diatur dengan regulasi yang jelas. Pengaturan
ditunjukkan untuk memberikan jalan keluar bagi perempuan yang mengalami
kehamilan yang tidak dinginkan sekaligus untuk mengurangi tingginya angka
kematian ibu yang disebabkan karena obosri tidak aman dengan menetapkan
ketentuan yang sesuai dengan norma masyarakat. Untuk memenuhi hak reproduksi
perempuan, Negara wajib menyediakan fasilitas pelayanan aborsi yang aman,
bermutu dan mudah dijangkau oleh perempuan yang membutuhkan.
Melakukan aborsi pasti merupakan keputusan yang sangat
berat dirasakan oleh perempuan yang bersangkutan. Tapi bila itu memang menjadi
jalan yang terakhir, yang harus diperhatikan adalah persiapan secara fisik dan
mental dan informasi yang cukup mengenai bagaimana agar aborsi bisa berlangsung
aman. Meskipun aborsi dinyatakan sebagai tindakan kriminal, namum kenyataannya
sekitar dua jutan perempuan Indonesia melakukan aborsi setipa tahunnya yang
kebanyakan dilakukan secara tidak aman dan tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan professional dengan fasilitas yang memadai.
Untuk menekan tingkat kematian ibu akibat praktik
aborsi yang tidak aman, pemerintah harus menetapkan standar pelayanan aborsi
yang aman dengan menetapkan prosedur pelaksanaan konseling sebelum dan sesudah
tindakan, tenaga kesehatan terlatih dan sarana pelayanan aborsi yang memadai dan
berijin sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
.
Oleh sebab itu sesuai dengan UU Kesehatan dimana dalam
pasalnya menyatakan bahwa memperbolehkan
pelaksanaan pengguguran terapetis, hal ini tidak bertentangan dengan
kebijaksanaan dari ikatan dokter nasional, maka prinsip-prinsip yang harus
diterapkan dalam pelaksanaannya adalah:
a.
Pengguguran hendaklah dilakukan hanya sebagai suatu
tindakan terapetis.
b.
Keputusan untuk menghentikan kehamilan seyogyanya
sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih
berkat kompetensi profesional mereka.
c.
Prosedur itu hendaklah dilakukan oleh seorang dokter
yang kompeten dalam instalasi-instalasi yang ditentukan oleh pemerintah berdasarkan
peraturan yang berlaku.
d.
Jika seorang dokter merasa bahwa keyakinan hati
nuraninya tidak mengizinkan dirinya menganjurkan atau melakukan pengguguran, ia
berhak mengundurkan diri & menyerahkan kelangsungan pengurusan medis kepada
koleganya yang kompeten.
Fasilitas
pelayanan aborsi yang amam dan formal sebaiknya disediakan pemerintah
berdasarkan ketentuan yang berlaku:
- Pelayanan
aborsi dilakukan oleh rumah sakit professional yang memiliki izin dan ditetapkan oleh pemerintah dengan biaya
yang terjangkau[17].
- Dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter) yang benar-benar terlatih dan berpengalaman melakukan aborsi dengan lisesnsi khusus
- Pelaksanaannya mempergunakan alat-alat kedokteran yang layak dan terjamin sterilitasnya untuk mencegah komplikasi.
- Dilakukan pada usua kehamilan kurang dari 6 sesudah terakhir kali mendapat haid.
- Perempuan yang berniat
melakukan aborsi perlu mendapatkan konseling agar dapat memutuskan sendiri untuk
diaborsi atau tidak dan konseling pasca aborsi guna menghindari aborsi
berulang
1. Angka Kematian Ibu, http://www.infodokterku.com, diakses tanggal 11-11-2001
2. AKI
mengancam perempuan, http://icrp-online.org/102008/post-4.html, diakses tanggal 10/11-2011
3. Kodim, Epidemiologi abortus yang tidak aman, diakses dari http://stetoskopmerah.blogspot.com, tanggal 11-11-2011
4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
5. Maraknya aborsi (2009), diakses dari http://menjadikosong.wordpress.com tanggal 11-11-2011Uddin,
6. Rachman, kesehatan reproduksi, yayasan jurnal perempuan, 2007
7. Rahman, AKI yang tak pernah mau
turun, yayasan jurnal perempuan, 2007
8. Undang-undang
RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
9. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
10. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT
11. Pengetahuan sikap dan praktik aborsi di Indonesia,
2004
12. Pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan
(KTD), diakses dari : http://pkbi.or.id, tanggal 12-11-2011
13. World Health
Organization, Complication of Abortion, technical and Managerial for Prevention
and Treatment. Geneva: 1995
[1] Uddin,
Pengetahuan sikap dan praktik aborsi di Indonesia, 2004
[2] Angka Kematian Ibu, http://www.infodokterku.com, diakses tanggal 11-11-2001
[3] Rachman, kesehatan reproduksi, yayasan jurnal
perempuan, 2007
[4] AKI mengancam perempuan, http://icrp-online.org/102008/post-4.html, diakses tanggal 10/11-2011
[5] Maraknya aborsi
(2009), diakses dari http://menjadikosong.wordpress.com tanggal 11-11-2011
[6] Kodim, Epidemiologi abortus yang tidak aman, diakses
dari http://stetoskopmerah.blogspot.com,
tanggal 11-11-2011
[7] World Health Organization, Complication of
Abortion, technical and Managerial for Prevention and Treatment. Geneva: 1995
[8] Erica, Sue A. Preventing Maternal Derath, Worl
Health Organization, Geneva; 1994
[9] Koran
Kompas tanggal 3 Maret 2000
[10] Rahman, AKI yang
tak pernah mau turun, yayasan jurnal perempuan, 2007
[11] Rachman, Kesehatan Reproduksi, yayasan jurnal
perempuan,2007
[12] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
[13] Undang-undang
RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
[14] Undang
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
[15] Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT
[16] Pelayanan
penanganan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), diakses dari : http://pkbi.or.id, tanggal 12-11-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar