Sabtu, 17 Desember 2011

Upaya Peningkatan Kesehatan Reproduksi Perempuan melalui Penurunan Angka Kematian Ibu karena Aborsi Tidak Aman


A.      Latar Belakang
Aborsi merupakan bagian  yang paling kontroversial dari masalah kesehatan reproduksi. Salah satu alasan utama aborsi adalah kehamilan yang tidak direncanakan. Dalam kesepakatan Kairo menyatakan bahwa pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan harus diprioritaskan untuk  melenyapkan kebutuhan aborsi dengan memfasilitasi perempuan terhadap akses informasi, konseling, pelayanan komplikasi akibat aborsi.
Kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan akan terus terjadi di seluruh dunia, sekalipun sudah menggunakan alat kontrasepsi. Menurut WHO penyebabnya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi itu sendiri,kesalahan pemakaian,konseling kontrasepsi yang tidak kuat, kekerasan termasuk perkosaan, usia terlalu muda, belum menikah, terlalu banyak anak dan hubungan yang bermasalah dengan pasangan.  Diperkirakan dari 210 juta kehamilan di dunia per-tahun-nya, 4 dari 10 diantaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Lebih dari setengah dari KTD tersebut berakhir dengan aborsi dengan estimasi sekitar 50 juta aborsi di seluruh dunia setiap tahunnya [1].
Kematian seorang ibu yang melakukan aborsi di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan SDKI Tahun 2007 Angka Kematian Ibu sebesar 228/100.000[2]. Sebanyak 11-17 % bahkan mencapai 50%  diakibatkan karena praktek aborsi yang tidak aman. Penetilian yang dilakukan Council menunjukkan kurang lebih 2 juta aborsi dilakukan tiap tahunnya[3]. Penelitian YKP pada tahun 2002 membuktikan 87% perempuan yang hendak melakukan aborsi masih terikat dalam perkawinan dan setidaknya sudah memiliki 2 anak. Umumnya akibat kegagalan KB (36%) dan alasan ketidaksiapan untuk hamil karena tekanan psikis dan sosial (57,5%) seperti sudah punya banyak anak, anak terakhir masih kecil, tuntutan kerja dsb.
Fakta di atas menunjukkan bahwa kehamilan tidak diinginkan  tidak saja dapat menimpa perempuan lajang akibat kekerasan seksual seperti perkosaan, incest, ingkar janji, korban traffiking dsb, tetapi juga dapat terjadi pada perempuan yang terikat dalam hubungan perkawinan. Masih menurut YKP, dari 75 juta kehamilan tidak diinginkan di dunia, 50 juta di antaranya berakhir dengan aborsi; 20 juta di antaranya dilakukan secara tidak aman.
Fakta tingginya kematian ibu merupakan ironi. Perempuan sebagai pejuang kehidupan harus berhadapan dengan resiko kematian ketika seorang perempuan merelakan tubuhnya menjalani fungsi reproduksi. Kematian ibu dianggap sebagai hal biasa yang harus ditanggung sebagai konsekuensi menjadi seorang perempuan. Sekalipun rahim ada dalam tubuh perempuan, pada kenyataannya perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan tidak berdaya bahkan tidak diberdayakan untuk dapat menentukan apakah kehamilan itu akan dihentikan atau dilanjutkan[4].
Perempuan memiliki risiko kesehatan lebih besar karena kurangnya kepedulian dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan yang berhubungan dengan seksualitas dan reproduksi. Aborsi tidak aman membahayakan hidup perempuan, mewakili masalah kesehatan masyarakat yang serius, banyak menimpa remaja yang berisiko paling tinggi. Banyaknya perempuan yang melakukan praktek aborsi yang tidak aman karena masyarakat masih memandang persoalan aborsi sebagai peroalan moralitas dan kriminalitas semata. Bagaimanapun, isu hak dan kesehatan reproduksi perempuan yang digembar-gemborkan selam ini harus diseimbangkan dengan peningkatan kualitas kesehatan perempuan.
Dalam hal ini, maka untuk menurunkan angka kematian ibu ataupun calon ibu, maka aborsi harus dilakukan dengan aman. Aturan dengan standar layanan aborsi yang aman akan mengurangi praktik aborsi ilegal selama ini. Dan tentunya layanan aborsi dengan tenaga kesehatan yang terlatih, fasilitas yang mendukung dan memenuhi syarat serta pendampingan konseling, semuanya itu harus dipenuhi dalam aturan yang baru.  Di Indonesia penyediaan pelayanan aborsi aman masih sangat terbatas dan relatif mahal sehingga muncul desakan dari beberapa LSM  kepada pemerintah untuk menyediakan sarana pelayanan aborsi yang aman untuk menekan tingkat kematian ibu akibat praktik aborsi tidak aman yang hingga kini masih tinggi[5].
Sebagai konsekuensi dari hak seorang perempuan “tidak/belum ingin mempunyai anak”, pemerintah perlu memberikan informasi, pendidikan serta pelayanan pencegahan kehamilan dan pada kondisi tertentu memberikan pelayanan aborsi yang aman.

B.       Permasalahan
Frekuensi kehamilan tidak diinginkan yang tinggi  dipastikan akan meningkatkan kebutuhan jasa pelayanan abortus. Semakin ketat larangan abortus, semakin besar risiko pertolongan aborsi yang tidak aman, sebagai akibat larangan terhadap abortus akan membuat fasilitas pelayanan aborsi profesional yang berkualitas menjadi langka dan mahal. Akibatnya, pilihan akan jatuh pada jasa pelayanan abortus yang tidak aman yang diberikan oleh tenaga yang tidak terampil dan tidak terlatih. Para ibu yang kebingungan itu akan nekad memilih pelayan aborsi yang tidak aman dan mengancam keselamatan ketimbang membesarkan janin yang mereka kandung. Mereka tidak menghiraukan risiko komplikasi, cacad, dan kematian yang mungkin ditimbulkan oleh pilihan yang keliru itu. Pelayanan abortus yang mereka pilih itu akan mengantarkan mereka pada risiko kematian 100 sampai 500 kali lebih besar. Di Indonesia, masalah ini sangat penting karena menyangkut keselamatan dan kelangsungan hidup para ibu usia produktif yang menjadi pengayom utama keluarga[6].
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisa tentang upaya pemerintah untuk meningkatan kesehatan reproduksi perempuan dengan menekan angka kematian ibu yang diakibatkan karena aborsi yang tidak aman dengan pemberian informasi, pendidikan, pelayanan pencegahan kehamilan dan  penyediaan pelayanan aborsi yang aman.

C.      Pembahasan
Secara umum, abortus didefinisikan sebagai upaya terminasi kehamilan yang dilakukan sebelum janin mampu hidup di luar kandungan. Menurut WHO, aborsi yang tidak aman (unsafe abortion) adalah aborsi yang dilakukan dengan menggunakan metode yang berisiko tinggi, bahkan fatal, dilakukan oleh orang yang tidak terlatih atau tidak terampil serta komplikasinya merupakan penyebab langsung kematian wanita usia reproduksi.
Dengan demikian, ada tiga kriteria aborsi yang tidak aman, yaitu metode berisiko tinggi, dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan komplikasinya merupakan penyebab langsung kematian ibu[7]. Metode aborsi risiko tinggi yang dimaksud antara lain meliputi penggunaan obat atau jamu, pemijitan, memasukkan alat atau benda asing ke dalam rongga vagina. Peralatan yang digunakan biasanya terkontaminasi oleh mikroorganisme dan bahan-bahan kausatif atau iritatif sehingga meskipun pasien dapat diselamatkan dari kematian, dia masih tetap terancam untuk mengalami cacad menetap atau gangguan organ yang serius. Sementara, bahan-bahan tradisional yang sering digunakan antara lain plastik, batang kayu, akar pohon, atau tangkai daun yang mempunyai getah iritatif[8].
Komplikasi dini dan yang paling sering adalah sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, yang sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tersisa di dalam rahim. Sepsis merupakan salah satu komplikasi aborsi yang paling fatal. Infeksi yang paling serius yang jarang ditemukan adalah infeksi bakteri anaerub yang menyebabkan gasgangrin dan tetanus. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh penggunaan peralatan yang tidak bersih. Penyebab kematian kedua yang paling penting adalah perdarahan. Perdarahan dapat disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap atau cedera organ panggul atau usus. Kematian biasanya disebabkan oleh tidak tersedianya darah atau fasilitas transfusi rumah sakit. Komplikasi abortus lain yang secara potensial fatal adalah bendungan sistem pembuluh darah oleh bekuan darah, gelembung udara, atau cairan. Yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah gangguan bekuan darah berat yang disebabkan oleh infeksi berat serta keracunan obat-obat abortif yang menyebabkan gagal ginjal.
Meski aborsi dilarang oleh hukum, tetapi kenyataannya terdapat 2,3 juta perempuan melakukan aborsi[9]. Masalahnya tiap perempuan mempunyai alasan tersendiri untuk melakukan aborsi dan hukum pun terlihat tidak akomodatif terhadap alasan-alasan tersebut, misalnya dalam masalah kehamilan paksa akibat perkosaan atau bentuk kekerasan lain termasuk kegagalan KB. Larangan aborsi berakibat pada banyaknya terjadi aborsi tidak aman (unsafe abortion), yang mengakibatkan kematian. Data WHO menyebutkan, 15-50% kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 20 juta pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000 perempuan meninggal dunia. Artinya 1 dari 8 ibu meninggal akibat aborsi yang tidak aman.
Aborsi yang tidak aman biasanya terjadi setelah kehamilan yang tidak diinginkan dengan berbagai sebab. Sampai saat ini belum ada solusi yang tuntas untuk melegalkan aborsi yang aman, kecuali yang diwajibkan karena indikasi medis. Padahal dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyebab aborsi sering disebabkan karena factor non-medis[10].
Banyaknya kematian akibat aborsi yang tidak aman, tentu sangat memprihatinkan. Hal ini diakibatkan kurangnya kesadaran dari perempuan dan masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan. Padahal bagaimanapun kondisinya atau akibat apapun, setiap perempuan sebagai warganegara tetap memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan kewajiban negaralah untuk menyediakan hal itu. Hak-hak ini harus dipandang sebagai hak-hak sosial sekaligus hak individu yang merupakan hak untuk mendapatkan keadilan sosial termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan pelayanan. Hak atas pelayanan kesehatan ini ditegaskan pula dalam Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (Konvensi Perempuan) dan UU Kesehatan No 36 Tahun 2009.
Dalam hal Hak Reproduksi, termasuk pula didalamnya hak untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia (Rekomendasi bab 7 Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional di Kairo 1994). Adalah hak bagi setiap pasangan atau individu untuk menetapkan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah anak, kelahiran anak dan kapan ia ingin atau tidak ingin mempunyai anak[11].
Hukum yang ada di Indonesia seharusnya mampu menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindak aborsi tak aman oleh tenaga tak terlatih. Ada 3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu:  
1.      Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum.  Sampai saat ini masih diterapkan.   KUHP melarang keras dilakukannya aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur pasal 283, 299 serta pasal 346-349. Pasal 299 menyatakan ancaman pidana maksimal 4 tahun pada seseorang yang memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan[12].
  1. Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009  tentang Kesehatan yang menuliskan  bahwa aborsi dapat dilakukan berdasarkan indikasi medis yang terdeteksi secra dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan atau janin, mencerita cacat genetik dan atau bawaan, dan keadaan yang menyulitkan bayi untuk hidup di luar kandungan. Selain itu kehamilan yang diakibatkan karena perkosaan sehingga menimbulkan trauma psikologis bagi korban. Dalam UU ini juga disebutkan bahwa pemerintah wajib melindungi dan mencegah aborsi  yang tidak aman,  tidak bermutu dan tidak bertanggungjawab dengan alasan tersebut diatas. Aborsi sebagaimana dimaksud diatas hanya dapat dilakukan denga  persyaratan:
a.    Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis
b.    Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri
c.    Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
d.   Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan
e.    Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Sebagai pelaksanaan  dijabarkan antara lain mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk[13].
3.      Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa  setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya. Hal ini menjelaskan bahwa  HAM jelas menentang aborsi sekalipun itu berkaitan dengan hak hidup[14].
  1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang  Penghapusan KDRT mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. Dalam UU ini memang tidak disebutkan secara tegas apa yang dimaksud dengan ‘pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis’, namun apabila dikaitkan dengan kekerasan seksual yang berefek pada kehamilan yang tidak diinginkan, maka korban diasumsikan dapat meminta hak atas pelayanan medis untuk mengakhiri kehamilannya, karena secara medis, korban akan mengalami stres ataupun depresi, & bukan tidak mungkin akan menjadi sakit jiwa apabila kehamilan tersebut diteruskan[15].

Namun keberadaan peraturan di atas justru dianggap menimbulkan kerugian, karena aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal, padahal aborsi bisa dilakukan secara aman (safe abortion).  UU Kesehatan dibuat untuk memperbaiki KUHP, tapi memuat definisi aborsi yang salah sehingga pemberi pelayanan (dokter) merupakan satu-satunya yang dihukum.  Pada KUHP, baik pemberi pelayanan (dokter), pencari pelayanan (ibu), dan yang membantu mendapatkan pelayanan, dinyatakan bersalah.  Dan akibat aborsi dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu akan mencari pelayanan pada tenaga tak terlatih.
Oleh karena itu, hingga kini AKI Indonesia (228 per 100.000 kh tahun 2007) masih menduduki urutan teratas di Asia Tenggara,dan kontribusi aborsi dilihat sebagai salah satu faktor tingginya angka tersebut. Aborsi sendiri masih tetap merupakan suatu wacana yang selalu mengundang pro dan kontra baik hukum maupun agama yang mungkin tidak akan habis jika tidak ada peraturan baru tentang aborsi aman khususnya yang tegas dan jelas.
Pemberian pelayanan penanganan aborsi akibat  kehamilan yang tidak diinginkan sering mendapatkan hambatan atau kendala dari UU, maupun KUHAP yang terkait dan tekanan sosial. Perkumpulan Keluagra Berencana Indonesia berupaya untuk memberikan pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan secara komprehensif dan berkualitas seperti konseling pra dan pasca penanganan, tindakan penanganan dengan metode mutakhir yang aman, pemberian kontrasepsi pascatindakan, pelayanan komplikasi dan membangun sistim rujukan pelayanan kesehatan reproduksi yang diperlukan masyarakat.
Upaya yang dilakukan diatas termasuk pencatatan data/profil klien, pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan yang meliputi metode/fasilitas/ketrampilan provider, digunakan untuk melakukan advokasi ke parlemen dan pemerintah agar UU atau KUHP yang menghalangi perempuan dapat mengakses pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang ada pada masyarakat[16].


D.      Kesimpulan dan Saran
 Aborsi merupakan bagian dari hak reproduksi dan kesehatan reproduksi yang harus diatur dengan regulasi yang jelas. Pengaturan ditunjukkan untuk memberikan jalan keluar bagi perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak dinginkan sekaligus untuk mengurangi tingginya angka kematian ibu yang disebabkan karena obosri tidak aman dengan menetapkan ketentuan yang sesuai dengan norma masyarakat. Untuk memenuhi hak reproduksi perempuan, Negara wajib menyediakan fasilitas pelayanan aborsi yang aman, bermutu dan mudah dijangkau oleh perempuan yang membutuhkan.
Melakukan aborsi pasti merupakan keputusan yang sangat berat dirasakan oleh perempuan yang bersangkutan. Tapi bila itu memang menjadi jalan yang terakhir, yang harus diperhatikan adalah persiapan secara fisik dan mental dan informasi yang cukup mengenai bagaimana agar aborsi bisa berlangsung aman. Meskipun aborsi dinyatakan sebagai tindakan kriminal, namum kenyataannya sekitar dua jutan perempuan Indonesia melakukan aborsi setipa tahunnya yang kebanyakan dilakukan secara tidak aman dan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan professional dengan fasilitas yang memadai.
Untuk menekan tingkat kematian ibu akibat praktik aborsi yang tidak aman, pemerintah harus menetapkan standar pelayanan aborsi yang aman dengan menetapkan prosedur pelaksanaan konseling sebelum dan sesudah tindakan, tenaga kesehatan terlatih dan  sarana pelayanan aborsi yang memadai dan berijin sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan  .
Oleh sebab itu sesuai dengan UU Kesehatan dimana dalam pasalnya menyatakan bahwa  memperbolehkan pelaksanaan pengguguran terapetis, hal ini tidak bertentangan dengan kebijaksanaan dari ikatan dokter nasional, maka prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pelaksanaannya adalah:
a.         Pengguguran hendaklah dilakukan hanya sebagai suatu tindakan terapetis.
b.         Keputusan untuk menghentikan kehamilan seyogyanya sedapat mungkin disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka.
c.         Prosedur itu hendaklah dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten dalam instalasi-instalasi yang ditentukan oleh pemerintah berdasarkan peraturan yang berlaku.
d.        Jika seorang dokter merasa bahwa keyakinan hati nuraninya tidak mengizinkan dirinya menganjurkan atau melakukan pengguguran, ia berhak mengundurkan diri & menyerahkan kelangsungan pengurusan medis kepada koleganya yang kompeten.

Fasilitas pelayanan aborsi yang amam dan formal sebaiknya disediakan pemerintah berdasarkan ketentuan yang berlaku:
  • Pelayanan aborsi dilakukan oleh rumah sakit professional yang memiliki izin dan  ditetapkan oleh pemerintah dengan biaya yang terjangkau[17].
  • Dilakukan oleh tenaga  kesehatan (dokter) yang benar-benar terlatih dan berpengalaman melakukan aborsi dengan lisesnsi khusus
  •  Pelaksanaannya mempergunakan alat-alat kedokteran yang layak dan terjamin sterilitasnya untuk mencegah komplikasi.
  • Dilakukan pada usua kehamilan kurang dari 6 sesudah  terakhir kali mendapat haid.
  • Perempuan yang berniat melakukan aborsi perlu mendapatkan konseling agar dapat memutuskan sendiri untuk diaborsi atau tidak dan konseling pasca aborsi guna menghindari aborsi berulang

 DAFTAR PUSTAKA
1.    Angka Kematian Ibu, http://www.infodokterku.com, diakses tanggal 11-11-2001
2.    AKI mengancam perempuan, http://icrp-online.org/102008/post-4.html, diakses tanggal 10/11-2011
3.    Kodim, Epidemiologi abortus yang tidak aman, diakses dari  http://stetoskopmerah.blogspot.com, tanggal 11-11-2011
4.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
5.    Maraknya aborsi (2009), diakses dari http://menjadikosong.wordpress.com tanggal 11-11-2011Uddin,
6.    Rachman, kesehatan reproduksi, yayasan jurnal perempuan, 2007
7.    Rahman, AKI yang  tak pernah mau turun, yayasan jurnal perempuan, 2007
8.    Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009  tentang Kesehatan
9.    Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
10.  Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang  Penghapusan KDRT
11.   Pengetahuan sikap dan praktik aborsi di Indonesia, 2004
12.   Pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), diakses dari : http://pkbi.or.id, tanggal 12-11-2011
13.   World Health Organization, Complication of Abortion, technical and Managerial for Prevention and Treatment. Geneva: 1995




[1] Uddin, Pengetahuan sikap dan praktik aborsi di Indonesia, 2004
[2] Angka Kematian Ibu, http://www.infodokterku.com, diakses tanggal 11-11-2001
[3] Rachman, kesehatan reproduksi, yayasan jurnal perempuan, 2007
[4] AKI mengancam perempuan, http://icrp-online.org/102008/post-4.html, diakses tanggal 10/11-2011

[5]  Maraknya aborsi (2009), diakses dari http://menjadikosong.wordpress.com tanggal 11-11-2011
[6] Kodim, Epidemiologi abortus yang tidak aman, diakses dari  http://stetoskopmerah.blogspot.com, tanggal 11-11-2011
[7] World Health Organization, Complication of Abortion, technical and Managerial for Prevention and Treatment. Geneva: 1995
[8] Erica, Sue A. Preventing Maternal Derath, Worl Health Organization, Geneva; 1994
[9] Koran Kompas tanggal 3 Maret 2000
[10] Rahman, AKI yang  tak pernah mau turun, yayasan jurnal perempuan, 2007
[11] Rachman, Kesehatan Reproduksi, yayasan jurnal perempuan,2007
[12] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
[13] Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009  tentang Kesehatan
[14] Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
[15] Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang  Penghapusan KDRT
[16] Pelayanan penanganan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), diakses dari : http://pkbi.or.id, tanggal 12-11-2011

[17] Penjelasan tentang perlunya pelayanan aborsi aman di Indonesia, http://www.kesrepro.info/?q=node/206  diakses tanggal 10/11-2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar