Informed Consent
Sebagian besar keluhan
ketidak puasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin baik antara
dokter dengan pasien dan keluarga pasien. Perhatian terhadap pasien tidak hanya
dalam bentuk memeriksa dan memberi obat saja, tetapi juga harus membina
komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga pasien. Dokter perlu
menjelaskan kemungkinan kemungkinan yang bisa terjadi dan rencana pemeriksaan
pemeriksaan berikutnya, bukan hanya memeriksa pasien dan memberi obat saja.
Pasien juga perlu untuk menanyakan ke dokter, minta dijelaskan kemungkinan
kemungkinan penyakitnya
Dengan pemahaman yang
relatif minimal, masyarakat awam sulit membedakan antara risiko medik dengan
malpraktek. Hal ini berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata
berdasarkan tindakan medik, namun juga dipengaruhi faktor faktor lain seperti
kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan
dalam penatalaksanaan regiment therapeutic. Kecenderungan masyarakat lebih
melihat hasil pengobatan dan perawatan, padahal hasil dari pengobatan dan
perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti. Petugas kesehatan dalam
praktiknya hanya memberi jaminan proses yang sebaik mungkin, sama sekali tidak
menjanjikan hasil.
Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan malpraktek.
Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan malpraktek.
Secara etik dokter
diharapkan untuk memberikan yang terbaik untuk pasien. Apabila dalam suatu
kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien, mereka
tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal hal diluar dugaan karena harus
ada bukti bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini harus
dibedakan antara kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko
dari tindakan yang telah disebutkan dalam persetujuan tertulis (Informed
Consent), maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh karena itu, untuk memperoleh
persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang
dirugikan, dokter wajib memberi penjelasan yang sejelas jelasnya agar pasien
dapat mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya.
Pada dasarnya dalam
praktik sehari-hari, pasien yang datang untuk berobat ke tempat praktik
dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan tindakan
rutin seperti pemeriksaan fisik. Akan tetapi, untuk tindakan yang lebih
kompleks biasanya dokter akan memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendapatkan
kesediaan dari pasien, misalnya kesediaan untuk dilakukan pemeriksaan USG.
Ikhwal diperlukannya
izin pasien, adalah karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak
dapat diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor faktor lain
diluar kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien,
stadium penyakit, respon individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan
pasien dalam mengikuti prosedur dan nasihat dokter, dll. Selain itu tindakan
medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti
oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung
adalah pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan
medik mutlak diperlukan, kecuali pasien dalam kondisi emergensi. Mengingat
pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak sehat, diharapkan dokter tidak
memberikan informasi yang dapat mempengaruhi keputusan pasien, karena dalam
keadaan tersebut, pikiran pasien mudah terpengaruh. Selain itu dokter juga
harus dapat menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan pasien, agar pasien
bisa mengerti dan memahami isi pembicaraan
.Persetujuan tersebut
disebut dengan Informed Consent Informed. Consent hakikatnya adalah hukum perikatan,
ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab
profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek
perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam
KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari
paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c. Adanya suatu sebab yang halal, yang
dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta
merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama
yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak (antara petugas kesehatan dan
pasien), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua
belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan
pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis
dan terapi yang akan dilakukan. Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan
dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak
cacat hukum, diantaranya adalah:
a. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
b. Tidak berupaya menekan ( Force ).
c. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Seorang pasien
memiliki hak dan kewajiban yang layak untuk dipahaminya selama dalam proses
pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam hal ini yaitu hak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan (the right to health care),
hak untuk mendapatkan informasi (the
right to information), dan hak untuk ikut menentukan (the right to determination).
Seorang pasien
yang sedang dalam pengobatan atau perawatan disuatu sarana pelayanan kesehatan
seringkali harus menjalani suatu tindakan medis baik untuk menyembuhan
(terapeutik) maupun untuk menunjang proses pencarian penyebab penyakitnya
(diagnostik). Pasien yang mengalami kelainan dalam kehamilan letak janin pada kehamilan
pertama dengan boboj janin yang diperkirakan besar, perlu diberikan informasi tentang rencana
persalinan secara operasi sesar,
maka operasi ini termasuk tindakan medis terapeutik.
Sebelum melakukan tindakan
medis tersebut, dokter seharusnya akan meminta persetujuan dari pasien. Untuk
jenis tindakan medis ringan, persetujuan dari pasien dapat diwujudkan secara
lisan atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa pasien
setuju, misalnya mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau
beresiko, persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan
tindakan medis. Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak
sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu pasien
berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan
dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan
tindakan atau petugas medis lain yang diberi wewenang.
Pasien berhak
bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan diterimanya
tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas. Pasien berhak meminta pendapat
atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau membandingkan informasi
tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya, pasien berhak menolak rencana
tindakan medis tersebut.
Semua informasi
diatas sudah harus diterima pasien sebelum
rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya
bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua
informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan
mempertimbangkan keputusannya.
Untuk beberapa
jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan reproduksi dan
berpasangan
sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan
medisnya harus melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila
suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini,
tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga memenuhi kriteria dalam keadaan
sadar dan sehat akal. Beberapa
jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB,
dan tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau
reproduksi dari pasien tersebut.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no
29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun
2008, maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga
terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter
melakukan kelalaian
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien
atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan
penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Informasi/keterangan yang wajib
diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
a. Diagnosa yang telah ditegakkan
b. Sifat dan luasnya tindakan yang akan
dilakukan.
c. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan
tersebut
d. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut
e. Alternatif cara pengobatan yang lain.
f. Prakiraan biaya yang menyangkut tindakan
kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus
diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :
a. Resiko yang melekat pada tindakan
kedokteran tersebut.
b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan
sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan
perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus
memberikan penjelasan (Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III /
2008). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2). Pengecualian
terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
a. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ),
dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
b. Keadaan emosi pasien yang sangat labil
sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya
Ini tercantum dalam
PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008. Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin
pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan
KUHP Pasal 351. Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008,
persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang
memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan (Ayat 1). Pembatalan
persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang
memberi persetujuan (Ayat 2).
Dalam
hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam
masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada
pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah culpa levis, sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata
secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan
ganti rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan culpa lata. Oleh karena itu adanya kesalahan kecil
(ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur
untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum
Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan
persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan
dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini
karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya;
Aspek Hukum
Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan/operasi) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis
tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat
dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Rekam Medik
Dengan semakin berkembangnya dunia kesehatan di Indonesia,
rekam medik mempunyai peranan tidak kalah pentingnya dalam menunjang
pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Rekam medis adalah berkas berisi
catatan dan dokumen tentang pasien yang berisi identitas, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan medis lain pada sarana pelayanan kesehatan untuk rawat
jalan, rawat inap baik dikelola pemerintah maupun swasta. Setiap sarana kesehatan wajib
membuat rekam medis, dibuat oleh dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang
terkait, harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan,
& harus dibubuhi tandatangan yang memberikan pelayanan.
Rekam medik sangat penting selain untuk diagnosis,
pengobatan juga untuk evaluasi pelayanan kesehatan, peningkatan efisiensi kerja
melalui penurunan mortalitas & motilitas serta perawatan penderita yang
lebih sempurna. Rekam medik harus berisi informasi lengkap perihal proses
pelayanan medis di masa lalu, masa kini & perkiraan terjadi di masa yang akan
datang. Kepemilikan
rekam medik sering menjadi perdebatan di kalangan kesehatan, karena dokter
beranggapan bahwa mereka berwenang penuh terhadap pasiennya akan tetapi petugas
rekam medik bersikeras mempertahankan berkas rekam medik di lingkungan
kerjanya. Di lain pihak, pasien sering memaksa untuk membawa atau membaca
berkas yang memuat riwayat penyakitnya. Dalam
Permenkes No. 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, pasal 12 ayat (1)
menyatakan bahwa berkas rekam medis milik saranan pelayanan kesehatan, Ayat
(2) menyatakan bahwa: isi rekam medis
merupakan milik pasien. Hal ini mengandung arti bahwa pasien berhak tahu
tentang isi rekam medis.
Rekam medik yang lengkap & cermat adalah syarat mutlak
bagi bukti dalam kasus kasus medikolegal. Selain itu, kegunaan rekam medik
dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:
a. Aspek administrasi: Rekam medik mempunyai arti
administrasi karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang &
tanggung jawab bagi tenaga kesehatan.
b. Aspek
medis: Rekam medik mempunyayi nilai medis karena catatan tersebut dipakai
sebagai dasar merencanakan pengobatan & perawatan yang akan diberikan
c. Aspek
hukum: Rekam medik mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut masalah
adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan dalam usaha menegakkan hukum
serta bukti untuk menegakkan keadilan.
d. Aspek
keuangan: Rekam medik dapat menjadi bahan untuk
e. menetapkan
pembayaran biaya pelayanan kesehatan.
f. Aspek
penelitian: Rekam medik mempunyai nilai penelitian karena mengandung data atau
informasi sebagai aspek penelitian & pengembangan ilmu pengetahuan di
bidang kesehatan.
g. Aspek
pendidikan: Rekam medik mempunyai nilai pendidikan karena menyangkut data
informasi tentang perkembangan kronologis pelayanan medik terhadap pasien yang
dapat dipelajari.
h. Aspek
dokumentasi: Rekam medik mempunyai nilai dekumentasi karena merupakan sumber
yang harus didokumentasikan yang dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban &
laporan.
Dalam
undang-undang praktik kedokteran ditegaskan bahwa rekam medis adalah berkas
yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindak dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Lebih
lanjut ditegaskan dalam Permenkes No.
269/MENKES/PER/III/2008 pada pasal 13 ayat (1) bahwa rekam medis dapat dimanfaatkan/digunakan
sebagai pemeliharaan kesehatan dan
pengobatan pasien,alat bukti dalam proses penegakan
hukum, disiplin kedokteran, penegakan etika kedokteran dan kedokteran gigi bagi
profesi kedokteran, keperluan
pendidikan dan penelitian, dasar pembiayaan biaya pelayanan kesehatan, data
statistic kesehatan.
Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed
Consent dan Rekam Medis dapat dijabarkan seperti dibawah ini:
a. UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak
sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya
setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara
lengkap
(2)
Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat
secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan
diri; atau
c. gangguan mental berat
(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Pernyataan IDI Tentang Informed Consent
1. Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak
sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
2. Dokter tidak berhak melakukan tindakan
medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan
pasien itu sendiri.
Oleh karena itu, semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan "Informed Consent" secara lisan maupun tertulis.
Oleh karena itu, semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan "Informed Consent" secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mengandung
risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi
yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko
yang berkaitan dengannya ( "Informed Consent" ).
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam
butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus
diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien maupun tidak. Menahan informasi
tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan
informasi itu kepada keluarga terdekat. Dalam memberikan informasi kepada
keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai
saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan
kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun
paliatif.
Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informasi "Informed Consent"). Informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini dapat merugikan kepentingan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.
Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informasi "Informed Consent"). Informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini dapat merugikan kepentingan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.
7. Dalam hal tindakan bedah (operasi) dan
tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang
bersangkutan sendiri.
Untuk tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.
Untuk tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.
8. Perluasan operasi yang dapat diduga
sebelum tindakan dilakukan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya
kepada keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat
diduga sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi
sebelumnya bila perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawa
pasien pada waktu itu
9. Informed
Consent diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat rohaniah
10. Untuk orang dewasa yang berada dibawah
pengampuan, Informed Consent diberikan oleh orangtua / kurator / wali. Untuk
yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua/wali. "Informed
Consent" diberikan oleh keluarga terdekat
11. Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan,
serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir 10, dan yang dinyatakan
secara medis berada dalam keadaan gawat dan/atau darurat, yang memerlukan
tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan Informed Consent
dari siapapun dan ini menjadi tanggung jawab dokter.
12. Dalam pemberian persetujuan berdasarkan
informasi untuk tindakan medis di RS / Klinik, maka RS / Klinik yang
bersangkutan ikut bertanggung jawab
c. UU RI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran
Pasal 45
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sekurang-kurangnya mencakup
·
diagnosis
dan tata cara tindakan medis
·
tujuan
tindakan medis yang dilakukan;
·
alternative
tindakan laindari risikonya;
·
risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
·
prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
d. Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
1. Pasal 2 ayat
(1) menyatakan bahwa : semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapat persetujuan.
2. Pasal 7 ayat
(1) menyatakan bahwa : penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan
langsung kepada pasien dan atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak
diminta.
3. Pasal 7 ayat
(3) menyatakan bahwa: penjelasan tentang tindakan kedokteran dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya mencakup :
a) Diagnosis dan tata
cara tindakan kedokteran
b) Tujuan
tindakan kedokteran yang dilakukan
c) Alternatif
tindakan lain dan resikonya
d) Resiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi
e) Prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan
f) Prakiraan
pembiayaan
4. Pasal 13 ayat
(1) menyatakan bahwa: persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau
keluarga terdekat
e. Permenkes
No.269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medik
1. Pasal 12 ayat
(2) menyatakan bahwa: isi rekam medis
merupakan milik pasien
2. Pasal 13 ayat
(1) hurup a menyatakan bahwa: pemanfaatan
rekam medis dapat dipakai sebagai : a. pemerilaharaan kesehatan dan pengobatan pasien.
ALTERNATIF PENYELESAIAN KASUS
Permasalahan yang sering memicu masalah
antara pasien dengan sarana pelayanan kesehatan/dokter adalah kedua belah pihak kurang
mengerti hak & kewajibannya. sarana pelayanan kesehatan/dokter lebih mementingkan dalam menuntut hak-nya namun lupa
melaksanakan kewajibannya secara tuntas. Di sisi lain pasien kadang tidak dapat
memenuhi kewajibannya seperti pembayaran atas biaya pengobatan sementara
seringkali hak-haknya kurang diperhatikan.
Agar kasus seperti diatas tidak
terulang kembali
masing-masing pihak harus mengerti apa
yang menjadi hak & kewajibannya dalam pengobatan. Hal ini telah diatur
dalam pasal 50-53 UU no.29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasien sebaiknya mengerti bahwa
hak-nya adalah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai penyakit,
pemeriksaan, pengobatan, efek samping, risiko, komplikasi, sampai alternatif
pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak pemeriksaan/pengobatan &
meminta pendapat dokter lain.
Selain itu, pencatatan
tentang perjalanan penyakit pasien yang di tulis dalam rekam medik adalah milik pasien sehingga berhak untuk
meminta salinannya untuk kebutuhan rujukan. Pasien memiliki kewajiban untuk memberikan
informasi selengkap-lengkapnya, mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi
peraturan yang ada di sarana pelayanan kesehatan dan membayar semua biaya pelayanan
kesehatan yang telah diberikan.
Sedangkan sarana
pelayanan kesehatan/dokter
wajib untuk memberikan pelayanan sesuai standar & kebutuhan medis pasien,
merujuk ke tempat yang lebih mampu jika tidak sanggup menangani pasienn membuat dan
merahasiakan
rekam medik. Sarana
pelayanan kesehatan/dokter
pun berhak untuk menerima pembayaran atas jasa layanan kesehatan yang
diberikannya pada pasien.
Selain mengerti hak &
kewajibannya, kedua belah pihak pun harus memiliki komunikasi yang baik &
rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman. Berbagai konflik antara
pasien dan sarana pelayanan kesehatan/dokter hampir selalu diawali oleh komunikasi
yang buruk & kurangnya rasa percaya di antara keduanya. Pasien maupun sarana
pelayanan kesehatan/dokter
harus saling terbuka dan
mau menerima masukan agar pengobatan dapat dilaksanakan dengan baik.
Sarana pelayanan kesehatan/dokter harus paham bahwa pasien
datang hanya karena ingin diobati & sembuh, bukan untuk mencari-cari
perkara. Pasien pun harus mengerti bahwa tidak ada sarana
pelayanan kesehatan/dokter
yang memiliki niat jahat untuk mencelakakan pasiennya. Selain itu, sarana
pelayanan kesehatan/dokter
harus belajar berbesar hati dalam menerima kritik & saran sebagai sarana
untuk perbaikan kualitas layanan, bukan dianggap sebagai penghinaan atau
pencemaran nama baik. sarana pelayanan kesehatan/dokter harus ingat bahwa pasien itu sedang
dalam kesusahan akibat penyakitnya, sangat wajar jika pasien mudah marah dan terlalu sensitif..
Namun bila akhirnya ada masalah di antara keduanya, perlu suatu cara penyelesaian yang bijak demi kebaikan bersama.
Namun bila akhirnya ada masalah di antara keduanya, perlu suatu cara penyelesaian yang bijak demi kebaikan bersama.
Langkah dilakukan melalui jalur hukum
yang lebih berorientasi pada ‘menang-kalah’ sehingga hubungan di antara
keduanya menjadi tidak baik. Langkah ini sering dipilih karena kurangnya pengetahuan
akan alternatif penyelesaian masalah yang lain. Padahal langkah hukum
membutuhkan waktu panjang & biaya banyak. Ada berbagai cara lain yang dapat
dipilih, seperti penyelesaian secara kekeluargaan atau dengan bantuan
penengah/mediator yang dipercayai & dihormati oleh kedua pihak.
Selain cara-cara penyelesaian masalah
di atas, terdapat pula Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) jika pasien
merasa dokter berlaku tidak sesuai etika. Sementara untuk masalah yang
berkaitan dengan kinerja/tindakan dokter di dalam praktiknya, pasien dapat
mengadukannya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang
anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, sarjana hukum, & dokter. Pasien
bisa mengadu ke kedua lembaga tersebut sekaligus dengan meminta bantuan kantor
cabang organisasi profesi dokter atau dinas kesehatan setempat.
Hubungan pasien dan sarana
pelayanan kesehatan/dokter
memang dinamis, sehingga masalah pun akan selalu timbul. Dengan cara
penyelesaian masalah yang tepat diharapkan hubungan di antara keduanya dapat
terus terjalin dengan baik sehingga dunia pelayanan kesehatan di Indonesia
dapat lebih berkualitas & melindungi masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Abidin, Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia, 2009
2.
Alwi, Rekam Medik sebagai Bukti Hukum, http://simrsud.wordpress.com/2010/10/20/rekam-medik-sebagai-bukti-hukum/ Diakses 6/11/2011
3. Ali.
Mulyohadi, Penyelenggaraan Praktik Kedokteran
Yang Baik di Indonesia, 2009
5.
Chandawila, Rekam Medis (Menurut Permenkes no.269/2008 & UU no.29/2004), http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/06/rekam-medis-menurut-permenkes-no749a1989-uu-no292004/#more-6 Diakses 6/11/2011
6. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
7. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
8.
Indradi, Hak-Hak
Pasien dalam Menyatakan Persetujuan Rencana Tindakan Medis, http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent, diakses 6/10/2011
9.
Irwady, Mengenal Informed Consent , http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/ , diakses 6/11/2011
10. Jayanti.
Nusye, Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Pustaka Yustisia, 2009
11. Lampiran SKB IDI No.319/P/BA./88
12. Permenkes
No.269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medik
13. Permenkes
No.290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
14. Ta’adi, Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat
Profesional, EGC, 2009
15. UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan
16. UU No.29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar