Sabtu, 17 Desember 2011

ASPEK HUKUM REKAM MEDIS DAN INFORMED CONSENT


 Informed Consent

Sebagian besar keluhan ketidak puasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin baik antara dokter dengan pasien dan keluarga pasien. Perhatian terhadap pasien tidak hanya dalam bentuk memeriksa dan memberi obat saja, tetapi juga harus membina komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga pasien. Dokter perlu menjelaskan kemungkinan kemungkinan yang bisa terjadi dan rencana pemeriksaan pemeriksaan berikutnya, bukan hanya memeriksa pasien dan memberi obat saja. Pasien juga perlu untuk menanyakan ke dokter, minta dijelaskan kemungkinan kemungkinan penyakitnya
Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit membedakan antara risiko medik dengan malpraktek. Hal ini berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata berdasarkan tindakan medik, namun juga dipengaruhi faktor faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam penatalaksanaan regiment therapeutic. Kecenderungan masyarakat lebih melihat hasil pengobatan dan perawatan, padahal hasil dari pengobatan dan perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti. Petugas kesehatan dalam praktiknya hanya memberi jaminan proses yang sebaik mungkin, sama sekali tidak menjanjikan hasil.
Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan malpraktek.
Secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik untuk pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien, mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal hal diluar dugaan karena harus ada bukti bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini harus dibedakan antara kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah disebutkan dalam persetujuan tertulis (Informed Consent), maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh karena itu, untuk memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang dirugikan, dokter wajib memberi penjelasan yang sejelas jelasnya agar pasien dapat mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya.
Pada dasarnya dalam praktik sehari-hari, pasien yang datang untuk berobat ke tempat praktik dianggap telah memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan tindakan rutin seperti pemeriksaan fisik. Akan tetapi, untuk tindakan yang lebih kompleks biasanya dokter akan memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendapatkan kesediaan dari pasien, misalnya kesediaan untuk dilakukan pemeriksaan USG.
Ikhwal diperlukannya izin pasien, adalah karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor faktor lain diluar kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium penyakit, respon individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasihat dokter, dll. Selain itu tindakan medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medik mutlak diperlukan, kecuali pasien dalam kondisi emergensi. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi keputusan pasien, karena dalam keadaan tersebut, pikiran pasien mudah terpengaruh. Selain itu dokter juga harus dapat menyesuaikan diri dengan tingkat pendidikan pasien, agar pasien bisa mengerti dan memahami isi pembicaraan
.Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
a.    Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b.    Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c.    Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak (antara petugas kesehatan dan pasien), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
a.    Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
b.    Tidak berupaya menekan ( Force ).
c.    Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban yang layak untuk dipahaminya selama dalam proses pelayanan kesehatan. Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam hal ini yaitu hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health care), hak untuk mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut menentukan (the right to determination).
Seorang pasien yang sedang dalam pengobatan atau perawatan disuatu sarana pelayanan kesehatan seringkali harus menjalani suatu tindakan medis baik untuk menyembuhan (terapeutik) maupun untuk menunjang proses pencarian penyebab penyakitnya (diagnostik). Pasien yang mengalami kelainan dalam kehamilan letak janin pada kehamilan pertama dengan boboj janin yang diperkirakan besar,  perlu diberikan informasi tentang rencana persalinan secara operasi sesar, maka operasi ini termasuk tindakan medis terapeutik.
Sebelum melakukan tindakan medis tersebut, dokter seharusnya akan meminta persetujuan dari pasien. Untuk jenis tindakan medis ringan, persetujuan dari pasien dapat diwujudkan secara lisan atau bahkan hanya dengan gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa pasien setuju, misalnya mengangguk. Untuk tindakan medis yang lebih besar atau beresiko, persetujuan ini diwujudkan dengan menandatangani formulir persetujuan tindakan medis. Dalam proses ini, pasien sebenarnya memiliki beberapa hak sebelum menyatakan persetujuannya, yaitu pasien berhak mendapat informasi yang cukup mengenai rencana tindakan medis yang akan dialaminya. Informasi ini akan diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan atau petugas medis lain yang diberi wewenang.
Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas. Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya, pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut.
Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien sebelum rencana tindakan medis dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan reproduksi dan berpasangan sebagai suami-istri, maka pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan medisnya harus melibatkan persetujuan suami/istri pasien tersebut apabila suami/istrinya ada atau bisa dihubungi untuk keperluan ini. Dalam hal ini, tentu saja suami/istrinya tersebut harus juga memenuhi kriteria dalam keadaan sadar dan sehat akal. Beberapa jenis tindakan medis tersebut misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
a.    Diagnosa yang telah ditegakkan
b.    Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
c.    Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut
d.    Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut
e.    Alternatif cara pengobatan yang lain.
f.     Prakiraan biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :
a.    Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b.    Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan (Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2). Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
a.    Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
b.    Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008. Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351. Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan (Ayat 1). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan (Ayat 2).
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah culpa levis, sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan culpa lata. Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan/operasi) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.


 Rekam Medik

Dengan semakin berkembangnya dunia kesehatan di Indonesia, rekam medik mempunyai peranan tidak kalah pentingnya dalam menunjang pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Rekam medis adalah berkas berisi catatan dan dokumen tentang pasien yang berisi identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan medis lain pada sarana pelayanan kesehatan untuk rawat jalan, rawat inap baik dikelola pemerintah maupun swasta. Setiap sarana kesehatan wajib membuat rekam medis, dibuat oleh dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang terkait, harus dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan, & harus dibubuhi tandatangan yang memberikan pelayanan.
Rekam medik sangat penting selain untuk diagnosis, pengobatan juga untuk evaluasi pelayanan kesehatan, peningkatan efisiensi kerja melalui penurunan mortalitas & motilitas serta perawatan penderita yang lebih sempurna. Rekam medik harus berisi informasi lengkap perihal proses pelayanan medis di masa lalu, masa kini & perkiraan terjadi di masa yang akan datang. Kepemilikan rekam medik sering menjadi perdebatan di kalangan kesehatan, karena dokter beranggapan bahwa mereka berwenang penuh terhadap pasiennya akan tetapi petugas rekam medik bersikeras mempertahankan berkas rekam medik di lingkungan kerjanya. Di lain pihak, pasien sering memaksa untuk membawa atau membaca berkas yang memuat riwayat penyakitnya. Dalam Permenkes No. 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa berkas rekam medis milik saranan pelayanan kesehatan, Ayat (2)  menyatakan bahwa: isi rekam medis merupakan milik pasien. Hal ini mengandung arti bahwa pasien berhak tahu tentang isi rekam medis.
Rekam medik yang lengkap & cermat adalah syarat mutlak bagi bukti dalam kasus kasus medikolegal. Selain itu, kegunaan rekam medik dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:
a.     Aspek administrasi: Rekam medik mempunyai arti administrasi karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang & tanggung jawab bagi tenaga kesehatan.
b.    Aspek medis: Rekam medik mempunyayi nilai medis karena catatan tersebut dipakai sebagai dasar merencanakan pengobatan & perawatan yang akan diberikan
c.    Aspek hukum: Rekam medik mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan dalam usaha menegakkan hukum serta bukti untuk menegakkan keadilan.
d.    Aspek keuangan: Rekam medik dapat menjadi bahan untuk
e.    menetapkan pembayaran biaya pelayanan kesehatan.
f.     Aspek penelitian: Rekam medik mempunyai nilai penelitian karena mengandung data atau informasi sebagai aspek penelitian & pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan.
g.    Aspek pendidikan: Rekam medik mempunyai nilai pendidikan karena menyangkut data informasi tentang perkembangan kronologis pelayanan medik terhadap pasien yang dapat dipelajari.
h.    Aspek dokumentasi: Rekam medik mempunyai nilai dekumentasi karena merupakan sumber yang harus didokumentasikan yang dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban & laporan.
Dalam undang-undang praktik kedokteran ditegaskan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindak dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Lebih lanjut ditegaskan dalam Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 pada pasal 13 ayat (1) bahwa rekam medis dapat dimanfaatkan/digunakan sebagai  pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien,alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran, penegakan etika kedokteran dan kedokteran gigi bagi profesi kedokteran, keperluan pendidikan dan penelitian, dasar pembiayaan biaya pelayanan kesehatan, data statistic kesehatan.

 Perlindungan Pasien

Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed Consent dan Rekam Medis dapat dijabarkan seperti dibawah ini:
a.    UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 56
(1)   Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  tidak berlaku pada:
a.      penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas
b.      keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c.      gangguan mental berat

(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b.    Pernyataan IDI Tentang Informed Consent
1.      Manusia dewasa dan sehat rohaniah berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya.
2.      Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Oleh karena itu, semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan "Informed Consent" secara lisan maupun tertulis.
3.      Setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya ( "Informed Consent" ).
4.      Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.      Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta oleh pasien maupun tidak. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi itu kepada keluarga terdekat. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
6.      Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif.
Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informasi "Informed Consent"). Informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal ini dapat merugikan kepentingan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.
7.      Dalam hal tindakan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi harus diberikan oleh dokter yang bersangkutan sendiri.
Untuk tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat atau dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.
8.      Perluasan operasi yang dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya bila perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan nyawa pasien pada waktu itu
9.       Informed Consent diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat rohaniah
10.   Untuk orang dewasa yang berada dibawah pengampuan, Informed Consent diberikan oleh orangtua / kurator / wali. Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua/wali. "Informed Consent" diberikan oleh keluarga terdekat
11.   Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan, serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir 10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam keadaan gawat dan/atau darurat, yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan Informed Consent dari siapapun dan ini menjadi tanggung jawab dokter.
12.   Dalam pemberian persetujuan berdasarkan informasi untuk tindakan medis di RS / Klinik, maka RS / Klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab

c.    UU RI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Pasal 45
1.    Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2.    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3.    Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup
·         diagnosis dan tata cara tindakan medis
·         tujuan tindakan medis yang dilakukan;
·         alternative tindakan laindari risikonya;
·         risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
·         prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
4.    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
5.    Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan
6.    Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.


d.    Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
1.    Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa : semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2.    Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa : penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
3.    Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa: penjelasan tentang tindakan kedokteran dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya mencakup :
a)    Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran
b)    Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan
c)    Alternatif tindakan lain dan resikonya
d)    Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e)    Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
f)     Prakiraan pembiayaan
4.    Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa: persetujuan diberikan oleh pasien yang kompeten atau keluarga terdekat

e.    Permenkes No.269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medik
1.    Pasal 12 ayat (2)  menyatakan bahwa: isi rekam medis merupakan milik pasien
2.    Pasal 13 ayat (1)  hurup a menyatakan bahwa: pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai : a. pemerilaharaan kesehatan  dan pengobatan pasien.

  
ALTERNATIF PENYELESAIAN KASUS
Permasalahan yang sering memicu masalah antara pasien dengan sarana pelayanan kesehatan/dokter adalah kedua belah pihak kurang mengerti hak & kewajibannya. sarana pelayanan kesehatan/dokter lebih mementingkan dalam menuntut hak-nya namun lupa melaksanakan kewajibannya secara tuntas. Di sisi lain pasien kadang tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti pembayaran atas biaya pengobatan sementara seringkali hak-haknya kurang diperhatikan.
Agar kasus seperti diatas tidak terulang kembali masing-masing pihak harus mengerti  apa yang menjadi hak & kewajibannya dalam pengobatan. Hal ini telah diatur dalam pasal 50-53 UU no.29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasien sebaiknya mengerti bahwa hak-nya adalah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping, risiko, komplikasi, sampai alternatif pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak pemeriksaan/pengobatan & meminta pendapat dokter lain.
Selain itu, pencatatan tentang perjalanan penyakit pasien yang di tulis dalam  rekam medik  adalah milik pasien sehingga berhak untuk meminta salinannya untuk kebutuhan rujukan.  Pasien memiliki kewajiban untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya, mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di sarana pelayanan kesehatan dan membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan.
Sedangkan sarana pelayanan kesehatan/dokter wajib untuk memberikan pelayanan sesuai standar & kebutuhan medis pasien, merujuk ke tempat yang lebih mampu jika tidak sanggup menangani pasienn membuat dan merahasiakan rekam medik.  Sarana pelayanan kesehatan/dokter pun berhak untuk menerima pembayaran atas jasa layanan kesehatan yang diberikannya pada pasien.
Selain mengerti hak & kewajibannya, kedua belah pihak pun harus memiliki komunikasi yang baik & rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman. Berbagai konflik antara pasien dan sarana pelayanan kesehatan/dokter hampir selalu diawali oleh komunikasi yang buruk & kurangnya rasa percaya di antara keduanya. Pasien maupun sarana pelayanan kesehatan/dokter harus saling terbuka dan mau menerima masukan agar pengobatan dapat dilaksanakan dengan baik.
Sarana pelayanan kesehatan/dokter harus paham bahwa pasien datang hanya karena ingin diobati & sembuh, bukan untuk mencari-cari perkara. Pasien pun harus mengerti bahwa tidak ada sarana pelayanan kesehatan/dokter yang memiliki niat jahat untuk mencelakakan pasiennya. Selain itu, sarana pelayanan kesehatan/dokter harus belajar berbesar hati dalam menerima kritik & saran sebagai sarana untuk perbaikan kualitas layanan, bukan dianggap sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik. sarana pelayanan kesehatan/dokter harus ingat bahwa pasien itu sedang dalam kesusahan akibat penyakitnya, sangat wajar jika pasien mudah marah dan terlalu sensitif..
Namun bila akhirnya ada masalah di antara keduanya, perlu suatu cara penyelesaian yang bijak demi kebaikan bersama.
Langkah dilakukan melalui jalur hukum yang lebih berorientasi pada ‘menang-kalah’ sehingga hubungan di antara keduanya menjadi tidak baik. Langkah ini sering dipilih karena kurangnya pengetahuan akan alternatif penyelesaian masalah yang lain. Padahal langkah hukum membutuhkan waktu panjang & biaya banyak. Ada berbagai cara lain yang dapat dipilih, seperti penyelesaian secara kekeluargaan atau dengan bantuan penengah/mediator yang dipercayai & dihormati oleh kedua pihak.
Selain cara-cara penyelesaian masalah di atas, terdapat pula Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) jika pasien merasa dokter berlaku tidak sesuai etika. Sementara untuk masalah yang berkaitan dengan kinerja/tindakan dokter di dalam praktiknya, pasien dapat mengadukannya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, sarjana hukum, & dokter. Pasien bisa mengadu ke kedua lembaga tersebut sekaligus dengan meminta bantuan kantor cabang organisasi profesi dokter atau dinas kesehatan setempat.
Hubungan pasien dan sarana pelayanan kesehatan/dokter memang dinamis, sehingga masalah pun akan selalu timbul. Dengan cara penyelesaian masalah yang tepat diharapkan hubungan di antara keduanya dapat terus terjalin dengan baik sehingga dunia pelayanan kesehatan di Indonesia dapat lebih berkualitas & melindungi masyarakat.
  

DAFTAR PUSTAKA

1.    Abidin, Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia, 2009
2.    Alwi, Rekam Medik sebagai Bukti Hukum, http://simrsud.wordpress.com/2010/10/20/rekam-medik-sebagai-bukti-hukum/   Diakses 6/11/2011
3.    Ali. Mulyohadi, Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik di Indonesia, 2009
4.    Billy, Aspek Hukum  Rekam Medis, billy@hukum-kesehatan.web.id, diakses 6/11/2011
6.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
7.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
8.    Indradi, Hak-Hak Pasien dalam Menyatakan Persetujuan Rencana Tindakan Medis,   http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent,  diakses 6/10/2011
9.    Irwady, Mengenal Informed Consent , http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/  , diakses 6/11/2011
10.  Jayanti. Nusye,  Penyelesaian Hukum dalam Malapraktik Kedokteran, Pustaka Yustisia, 2009
11.  Lampiran SKB IDI No.319/P/BA./88
12.  Permenkes No.269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medik
13.  Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
14.  Ta’adi, Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, EGC, 2009
15.  UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
16.  UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


r

Tidak ada komentar:

Posting Komentar